NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Kamis, 26 Januari 2012

Fasilitas Mewah, Kinerja Lemah

Oleh Sutrisno

Guru dan Pemerhati Masalah Bangsa

KALANGAN DPR kembali membuat kontroversi yang menunjukkan lembaga tersebut tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat dan kritik yang dialamatkan kepada mereka. Terbaru, lembaga wakil rakyat itu diketahui telah mengerjakan proyek pembangunan ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR. Pembangunan ruang baru Banggar tidak terdeteksi media massa sebelumnya karena dilaksanakan pada masa reses DPR, periode Desember 2011.

Proyek yang mengambil tempat di Gedung Nusantara II DPR itu memakan anggaran yang terhitung sangat besar, yakni mencapai Rp20 miliar. Sebagian besar dana dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kapasitas ruang yang ada dan memperbarui sistem, penerangan, air conditioner (AC), sound system, akustik, lantai, dan plafon. Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR menjelaskan, dana sebesar itu juga digunakan untuk membiayai tender konsultan perencana, tender konsultan pengawas, dan tender pelaksana pekerjaan (Jurnas, 12/1/2012).

Pengerjaan proyek yang terkesan diam-diam itu semakin melengkapi kritik atas lembaga tersebut karena mereka juga diketahui sedang dalam proses penyelesaian proyek renovasi 220 toilet di Gedung Nusantara I DPR dengan anggaran Rp2 miliar, pembangunan gedung parkir motor Rp3 miliar, serta pengadaan finger print atau absen elektronik sebesar Rp3,7 miliar.

Meski proyek itu dilaksanakan sesuai prosedur, toh tetap saja pembangunan ruang rapat mewah untuk banggar sangat menyakiti hati rakyat. Kita melihat, pembangunan ini tidak lebih hanya pemborosan. Ruang rapat yang ada di Gedung Nusantara I masih sangat layak digunakan oleh tim banggar, yang belakangan banyak anggotanya justru bermasalah dengan hukum.

Seharusnya mereka yang dipercaya masuk dalam tim banggar dan mewakili rakyat lebih mengutamakan kesederhanaan, bukan mengedepankan selera kemewahan. Banggar seharusnya tidak mengutamakan pembangunan ruang rapat, tetapi lebih memperjuangkan kebijakan anggaran prorakyat. Ironisnya, selama ini anggaran yang prorakyat nyaris tidak sebanding dengan anggaran untuk para legislator.

Aneh kalau Ketua DPR Marzuki Alie mengaku sama sekali tidak mengetahui pembangunan ruang rapat mewah tersebut. Seperti soal renovasi toilet, halaman parkir, dan juga rencana pembangunan gedung DPR. Marzuki berdalih itu masuk ranah Sekretariat Jenderal DPR. Terlepas diketahui atau tidak oleh pemimpin DPR, namun pembangunan ruang rapat mewah itu telah menyakiti hati rakyat.

Pengkhianatan terhadap nurani publik bisa bertumbuh subur karena mentalitas korupsi yang mengakar dalam. DPR hanya berteriak tentang reformasi di lembaga lain, tetapi tidak mau mereformasi diri sendiri. Terlihat dengan sangat jelas ketika otoritas anggaran DPR ditentukan sendiri, kerakusan tidak terbendung.

Dan, mudah ditebak, kerakusan yang tidak mengenal malu itu dipicu kepentingan pundi-pundi individu di lembaga itu. Kalau sebuah proyek atau rencana yang tidak masuk akal tetap saja dijalankan, bisa ditebak muncul jaring-jaring konspirasi kerakusan. Salah satunya keterkaitan antara pemenang proyek dan pemegang otoritas.

Kelihatannya DPR sudah terjebak ke dalam kemewahan sesaat. Mereka yang sudah menerima gaji puluhan juta itu tidak peduli lagi pada kepentingan masyarakat. Mereka merasa harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan pemerintah yang menurut mereka sudah sangat “wah" fasilitas dan posisinya. Mereka pun tak mau kalah menuntut pemerintah memuluskan niatnya.

Renovasi 220 toilet di Gedung Nusantara I DPR, pembangunan gedung parkir motor, pengadaan finger print, dan pembangunan ruang baru Banggar benar-benar sebuah pekerjaan yang hanya memuaskan keinginan dan hasrat anggota DPR semata. Tidak heran kalau banyak pihak menyatakan bahwa DPR sedang mengajarkan perilaku mewah (hedonis) kepada seluruh elemen masyarakat.

DPR sudah diberi fasilitas mewah, tapi kinerja lemah. Di bidang legislasi, dari target penyelesaian sebanyak 50 UU, hanya terealisasi 18 UU. Bahkan, sejumlah UU produksi DPR mengalami tumpang tindih dengan UU lainnya. Di bidang anggaran, hak dan kewenangan DPR untuk mengontrol penggunaan anggaran yang dilakukan pemerintah tidak dijalankan dengan baik.

Dalam mengawasi anggaran, kenyataannya banyak yang malah dimanfaatkan untuk transaksi. Sementara untuk fungsi pengawasan, tidak jauh beda. DPR dinilai gagal mengawasi jalannya pemerintahan dengan baik. Selain itu, publik menilai DPR terkesan alpa mengawasi pelaksanaan undang-undang. DPR terkesan sebagai agennya pemerintah. Terbukti banyak kebijakan pemerintah yang tidak mendapat penolakan berarti.

Rencana pembangunan ruang baru Banggar bertentangan dengan asas kepatutan dan kepantasan. Saat ini masih banyak persoalan yang memerlukan perhatian dan tindakan sungguh-sungguh dari para legislator. Warga korban lumpur Lapindo masih menjerit dan hidup dalam ketidakpastian, harga bahan kebutuhan pokok dari hari ke hari semakin melambung, tarif dasar listrik dan harga BBM yang terus naik, seiring dicabutnya berbagai subsidi, korupsi tetap merajalela, perampokan kekayaan alam negeri ini tetap leluasa terjadi, dan penegakan hukum masih tebang pilih.

Jika DPR bersikukuh melaksanakan pembangunan gedung baru, maka--pinjam istilah Jurgen Habermas (1975)--DPR telah mengalami legitimation crisis. Krisis parlemen sering diciptakan dan pembentukannya oleh agen-agen yang berada di depan dan di belakang parlemen itu sendiri. Agen-agen itu adalah mereka yang memberi fasilitas, sarana dan kekuatan lain untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.

Akan lebih baik jika DPR membuktikan terlebih dahulu kualitas kewibawaan di mata publik dengan kinerja yang profesional dan benar-benar prorakyat, barulah setelah itu rakyatlah yang akan mengantar dan mendorong mereka untuk melengkapi kebanggaan-kebanggaan yang bersifat fisik.

*) Dimuat di Harian Jurnas Nasional, Jakatra / 25 Januari 2012

Rabu, 18 Januari 2012

Aceh Setelah Tujuh Tahun Tsunami

Oleh Sutrisno

Guru dan Pemerhati Masalah Bangsa

TUJUH tahun lalu, Aceh dihancurkan oleh gempa dan tsunami. Musibah gempa 8,9 skala Richter disusul gelombang raksasa tsunami menimpa Aceh, Minggu (26 Desember 2004) pagi. Sekitar 250 ribu jiwa meninggal dan hilang, 500 ribu warga menjadi pengungsi, ratusan ribu luka-luka, lebih 100 ribu unit rumah rusak. Banyak jalan/jembatan terputus dan berbagai kerusakan lainnya, termasuk sekolah dan fasilitas kesehatan.

Masyarakat dari berbagai dunia datang ke Aceh dan bahu-membahu menata kembali Aceh di bawah koordinasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah menjalankan tugasnya selama empat tahun dan kondisi Aceh mulai membaik, maka Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang dikepalai oleh Dr Kuntoro Mangkusubroto menutup operasionalnya di Aceh dan Nias, 16 April 2009.

Kini, setelah tujuh tahun berlalu. Provinsi itu tengah berbenah diri membangun kembali. Tentu, untuk itu tak hanya membutuhkan kerja keras, tetapi juga kesabaran. Tidak bisa membangun Aceh dan Nias seperti membalikkan telapak tangan. Kabarnya, roda perekonomian di Aceh saat ini relatif berjalan baik. Diharapkan, makin banyak investor masuk dan menanamkan modalnya di provinsi tersebut, meski peraturan tentang investasi belum ada. Diharapkan, kondisi seperti itu terus berlangsung setelah BRR menyerahkan kembali pembangunan Aceh kepada pemerintah daerah setempat.

Kerusakan lingkungan akibat gempa dan tsunami di daerah itu juga harus segera diatasi. Ancaman gelombang pasang akibat perubahan iklim bukan mustahil bisa pula menjadi masalah di Aceh, juga Nias. BRR telah melakukan penanaman hutan bakau di Aceh. Dari 35.137 hektare (ha) luas lahan bakau yang rusak akibat bencana tsunami, 11.938 ha telah ditanami lagi, tetapi hanya sekitar 5.281 ha yang dinilai berhasil. Kawasan bakau mulai hidup kembali. Selain berfungsi sebagai “tanggul alam" atau sabuk hijau (green belt) bagi kawasan daratan, hutan itu penting untuk ekosistem ikan puluhan ribu petani tambak. Selain menanam bakau, BRR juga membangun tembok-tembok di sepanjang pantai (seawalls) untuk mencegah dampak tsunami yang lebih besar.

Membangun harapan bagi rakyat korban tsunami di Aceh adalah pekerjaan besar yang harus menjadi perhatian kita semua. Kemampuan kita “menyulap" wajah Aceh menjadi lebih baik dinantikan semua orang dan menjadi barometer untuk menilai apakah kita mampu mengurus anak bangsa ini. Termasuk juga meyakinkan negara-negara donor dan organisasi internasional agar mereka merealisasikan komitmen bantuan yang pernah diucapkan. Sebab, bencana Aceh merupakan “panggung nasional" yang sangat tinggi dan bisa menghasilkan keuntungan finansial dan politik.

Karenanya, selain menuntut tanggung jawab dan peran yang lebih besar dari negara, upaya mengajak partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi teramat penting. Sebab, tsunami telah membelah orang Aceh: korban dan rekonstruktor. Masing-masing hidup dalam sistem ekologi yang terpisah. Bentuk relasi mereka adalah antara obyek bantuan dan pengelola (subyek) bantuan.

Korban hidup dalam ekologi tenda dan barak. Rekonstruktor hidup di rumah-rumah bagus dan ber-AC. Mereka memperoleh pendapatan tetap, fasilitas berlipat melampaui para korban yang justru dikelolanya. “Dana takziah" untuk ratusan ribu orang Aceh yang hilang dan meninggal akibat tsunami justru lebih banyak dinikmati oleh para rekonstruktor ketimbang korban.

Ironis memang, tapi itulah realitasnya. Kita ingin agar korban menjadi obyek sekaligus subyek dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Karena itu, salah satu elemen mendasar dari proses demokratisasi yang solid adalah partisipasi masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui program pembangunan kembali dan proses pembuatan kebijakan yang partisipatif.

Selanjutnya, perlu dilanggengkan penggalangan kesepakatan dan upaya bersama untuk berdiri sendiri, sehingga ada solidaritas yang luas dan lintas strata di tingkat bawah serta kesadaran bersama yang meluas. Dan, yang terpenting adalah bagaimana suara dari bawah selalu diusahakan mendapat saluran ke atas, dan kebijakan dari atas harus selalu dinilai secara kritis dari bawah. Upaya mendorong keseimbangan ini adalah upaya berat untuk penguatan pranata sosial. Tapi tanpa ada dialog yang dinamis seperti ini, penguatan pranata sosial menjadi isu yang abstrak bagi rakyat korban tsunami dan rakyat Aceh umumnya.

Peringatan tujuh tahun tsunami juga sekaligus momentum untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada segenap pihak, baik rakyat Indonesia maupun dunia internasional yang sejak awal tragedi hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi masih terus membantu rakyat Aceh. Begitu pun, melalui kampanye di media, lembaga-lembaga donor internasional perlu didorong agar memiliki pertanggungjawaban kepada masyarakat Aceh yang dibantunya, tidak hanya pada konstituen mereka yang memberi dana.

Perlu disadari, membangun kembali Aceh yang telah dihancurkan oleh gempa dan tsunami tidak mudah. Kenyataan itu hendaknya tidak perlu membuat mereka yang terlibat putus asa. Sebaliknya, justru memacu mereka, termasuk Pemda, untuk bekerja lebih giat lagi. Kondisi politik dan keamanan di Aceh khususnya, sudah makin baik sejak kesepakatan damai Helsinki ditandatangani. Pilkada langsung pun sudah bisa diselenggarakan dengan aman. Kondisi ini hendaknya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk membangun Aceh.

Tahun 2012, Aceh (dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota) menerima total alokasi dana senilai Rp19,1 triliun. Dana ini diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Gubernur Aceh, Irwandy Yusuf, dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Harapannya, supaya dana ini digunakan sebaik-baiknya. Tentu, indikator atau parameternya tak lain adalah tata kelola keuangan pemerintahan yang baik. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi itu antara lain keterbukaan, dapat dipertanggungjawabkan, tepat sasaran, berdaya guna, dan berhasil guna.

Dengan alokasi belanja pembangunan yang makin tinggi, akan makin banyak dan luas sektor-sektor pembangunan dan kebutuhan masyarakat yang terpenuhi. Kita sungguh-sungguh mengharapkan, melimpahnya dana atau anggaran di Aceh ini akan sejalan dengan makin membaiknya derajat kehidupan dan kesejahteraan seluruh masyarakat daerah itu.

*)Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Rabu, 18 Januari 2012

Selasa, 17 Januari 2012

Balada Negeri Kekerasan

Oleh Sutrisno

Prihatin. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa kekerasan telah menjadi budaya masyarakat kita. Mulai dari tawuran antar pelajar dan antar kampung, kekerasan komunal (di Papua, Ambon, Makasar), kekerasan agama, hingga konflik agraria (Mesuji dan Bima).

Negara yang sempat dikenal sebagai negara yang ramah, santun, toleran dan mencintai kedamaian seolah terkebiri oleh berbagai kekerasan diantara masyarakat Indonesia sendiri. Berbagai perintiwa kekerasan itu pun seolah kian membenarkan kajian Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (Roots of Violence in Indonesia: 2002) yang menyebut Indonesia sebagai negeri kekerasan.

Balada kekerasan tersebut mewartakan disharmoni masa kini dan masa depan bangsa. Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003).

Berdasar penyelidikan beberapa kasus kekerasan akhir-akhir ini, ternyata fakta membuktikan bahwa kekerasan tidak steril dari prakondisi dan kondisi sebelumnya. Ideologi agama, frustasi sosial, dan kekecewaan terhadap keadaan serta pembiasaan-pembiasaan terhadap potensi tersebut menjadi penting untuk ditelaah karena telah menjadi pemicu lahirnya kekerasan.

Kekerasan juga sangat mungkin dipicu terjadinya crisis of governability (krisis kepemerintahan). Krisis kepemerintahan yang berkaitan dengan krisis legitimasi ditandai oleh proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara).

Dua proses itu menurut Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis (1975), diliputi “negara” yang semakin terbelenggu oleh dikotomi sektor publik dan privat.

Francis Fukuyama mengatakan, sejak demokrasi liberal menyebar secara agresif dalam satu dekade terakhir, banyak negara mengalami proses pelemahan. Bisa ditambahkan pula, proses pelemahan negara di Indonesia dalam satu dekade terakhir lebih krusial karena terjadi bersamaan dengan ketidakpastian pasca perubahan politik dari era otoriter ke era reformasi. Kondisi uncertainty inilah, yang meberikan ruang bagi aksi-aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Kekerasan merupakan noda demokrasi. Meminjam ungkapan Y.B. Mangunwijaya, kekerasan sebenarnya merupakan sebentuk kebodohan! Pada dasarnya, manusia dengan demikian juga masyarakat dan bangsa yeng cerdas dengan sendirinya tidak suka dengan kekerasan. Kekerasan merupakan instingtif hewani, utamanya binatang buas, bukan sifat dasar manusia, masyarakat, bangsa yang bermartabat (Aloys Budi Purnomo, 2010)

Bentrokan, tawuran massa, konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) serta konflik agraria mestinya dapat di cegah jika aparat negara sigap membaca fenomena dan tangkas melakukan antisipasi. Tetapi, aparat lalai, alpa, atau tidak peduli. Bahkan, aparat ikut terlibat dalam konflik.

Pemerintah tidak boleh mendiankan dan hanya sibuk memoles citra. Aparat negara tidak boleh menyepelekan, kemudian lalai mengantisipasi. Jika negara tidak boleh kalah, para pemimpinya harus tegas dan berani.

Kita sadar, ancaman di Indonesia bisa datang setiap saat dengan pola dan modus yang bermacam-macam. Pemerintah punya peran penting dalam mencegah kekerasan di negeri ini.

Paling utama, pemerintah segera menuntaskan ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan pilitik, dan ketidakadilan lain di negeri ini.

Pemerintah dengan segenap aparat keamanan dan penegak hukum (BIN, TNI, Polri) harus memberikan rasa aman dan nyaman terhadap warganya.

Selanjutnya, saluran komunikasi atau aspirasi harus dibuka di semua level pemerintahan, dari tingkat rendah hingga pusat. Pemerintah dan masyarakat juga mesti menghapus budaya kekerasan, yang dimulai dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Rumusnya sangatlah sederhana, yaitu menempatkan manusia Indonesia darimanupun latar belakangnya untuk dapat berperan dalam kehidupannya, dihargai dan dihormati segala kelebihan dan kekurangannya secara adil dan beradap dalam semua dimensi kehidupan.

Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

*) Dimuat di Jawa Pos / Minggu, 15 Januari 2012

2012: Momentum Indonesia Bangkit

Oleh Sutrisno

Tahun 2011 berlalu dan meninggalkan catatan sejarah. Elisabeth Kubler-Ross dalam On Death and Dying (1968) sebagaimana dikutip Paulinus Yan Olla (2007), mengatakan dalam hidup personal dapat menjadi gambaran negara yang sakit. Indonesia sedang sakit, sekarat secara sosial, politis, ekonomis maupun peradaban. Analisis politis dan hukum menunjukan, elit kian sejahtera, tetapi rakyat tetap merana. Penegakan hukum lesu, penanganan korupsi tidak menyentuh koruptor besar. Legislatif atau eksekutif tidak banyak memperbaiki kondisi bangsa. Pelanggar HAM sulit diadili. Banyak kebijakan menyakitkan hati rakyat.
Paling tidak, itulah catatan buruk perjalanan kehidupan bangsa ini selama tahun 2011. Kesuraman akhir tahun 2011 dapat berlanjut kesuraman tahun baru 2012. Yang diharapkan adalah awal tahun dapat membuka harapan-harapan baru sebagai pilihan yang dijadikan program pembenahan diri dan bangsa.
Tahun 2012 seharusnya menjadi tahun harapan akan kemajuan dalam berbagai bidang. Namun, harapan-harapan, yang bukan ilusi-ilusi, sebagai sasaran pilihan dipengaruhi juga berbagai peristiwa internasional atas nama isu pasar bebas atau foundamentalisme pasar, terorisme, naiknya harga minyak mentah dunia, bencana alam diberbagai belahan bumi, tidak kekerasan sebagai ikon global, cara pergantian berbagai pemerintah di dunia, dan kemiskinan dunia ketiga akibat ketidakadilan adalah isu yang akan sangat mempegaruhi seting politik dan kekuasaan serta pembangunan di tanah air.
Namun, jangan terbatas sampai menyalahkan ekonomi pasar, neoliberalisme atau globalisasi jika menyaksikan dan mengalami kesenjangan yang berlangsung terus antara sesama warga. Malaysia, Thailand, Korea Selatan, China hidup dalam kondidi global yang sama. Mengapa mereka melangkah maju memperbaiki kondisi kehidupan rakyat, bangsa, dan negaranya dan kita masih terus ketinggalan?
Kita tidak boleh berhenti membangun harapan karena negeri ini tetap memiliki potensi besar untuk maju. Sumber daya manusia yang kita miliki tidak kalah dibandingkan dengan sumber daya manusia negara lain. Hanya saja, mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan terbaik yang mereka miliki. Kita sering tidak percaya dengan kemampuan anak-anak bangsa kita sendiri.
Setidaknya ada beberapa faktor utama yang menyebabkan Indonesia sering kali mengalami kendala serius untuk bangkit. Jika tidak diselesaikan, kendala ini dalam jangka panjang bisa menjadi faktor yang merusak bangsa dari dalam, sehingga peluang untuk bangkit akan jauh lebih sulit di masa depan.
Pertama, rendahnya jaminan negara dalam mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Negeri ini seolah bukan lagi milik rakyat, karena kemakmuran dan kesejahteraan dalam standar minilal pun tak dirasakan rakyat. Sebaliknya para elite politik bergelimang harta dan kekuasaan. Elite ekonomi berlomba dan menumpuk pundi-pundi uang, menjarah hasil hutan, laut, emas, dan logam hingga habis. Kaum intelektual pun terperosok dalam kubangan permainan elite kekuasaan dan uang. Maka, lengkaplah sudah derita rakyat.
Kedua, bangsa ini tidak memiliki karakter sebagai bangsa. Masyarakat kita dinilai malas, pesimistis, tidak disiplin, tidak punya mimpi besar, tidak mampu kerja keras, tidak solider, individualis, dan sebagainya. Tidak heran bila budaya korupsi dan kekerasan tumbuh subur di negara ini.
Ketiga, belum munculnya kepemimpinan nasional yang kuat. Kepemimpinan yang demikian bertugas menjaga dan mengembangkan ideologi nasional secara konsisten serta mengawal kelangsungan tahapan-tahapan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tugas ini mengharuskan adanya pola kepemimpinan yang meletakkan proses pembangunan bangsa sebagai pekerja jangka panjang, sehingga capaian-capaian yang dibuat tidak sekedar memenuhi kepentingan lima tahunan.
Oleh karena itu, tahun 2012 harus dijadikan momentum Indonesia untuk bangkit. Spenser Jhonson dalam bukunya, The Present, mengatakan hari ini adalah hadiah atau dalam bahasa yang lebih dalam merupakan sebuah anugerah. Maka selayaknyalah kita memandang setiap pergantian waktu dengan sikap yang prospektif dan optimis di tengah berjubelnya persoalan dan tantangan yang dihadapi.

Kesadaran Kembali
Pada pengunjung 2011, sebuah kado diberikan sebuah lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings yang memasukkan Indonesia ke dalam invesment grade kali pertama sejak krisis moneter tahun 1997. Fitch Rating manaikkan peringkat utang Indonesia dari BB+ menjadi BBB. Lembaga rating lain, seperti Standard & Poor (S&P) serta Moody’s diperkirakan juga manaikkan peringkat utang Indonesia pada 2012.
Goldman Sach pernah meramalkan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia nomor tujuh. Lembaga pemeringkat itu memasukan RI dalam kelompok Next 11, bersama Turki, Korea Selatan, Meksiko, Iran, Mesir, Pilipina, Pakistan, Vietnam, dan Bangledesh. Indonesia dimasukkan dalam empat negara calon kekuatan baru dunia dengan produk domestik bruto (PDB) diperkirakan mencapai US$30,2 trilliun pada 2030, melampui negara industri maju yang masuk kelompok (G-7). Sementara itu, Morgan Satanley malah mengusulkan Indonesia masuk kelompok BRIC sehingga menjadi BRICI.
Optimisme dalam tahun 2012 juga perlu diiringi dengan satu kesadaran kembali bagaimana memulihkan kembali jiwa dan semangat keindonesiaan kita untuk bangkit dan berjuang memperbaiki negara , bangsa, dan tanah air. Pakar politik terkemuka Peter Evans menyarankan untuk bringing state back in, membawa kembali negara sesuai fungsinya dalam kapasitas negara yang cukup untuk melakukan proses modernisasi dan kesejahteraan bersama.
Samuel P Huntington dalam Culture Matters (2000) mengatakan, kunci bagi sebuah bangsa untuk mewujudkan mimpinya bergantung pada sejauh mana mereka membangun sebuah kultur bangsanya. Kultur bekerja keras, disiplin, sikap hemat, bangga dengan apa yang dihasilkan sendiri, tak mudah menyerah, mau bekerja sama, mau menghormati orang lain, dan kultur tak mau kalah.
Karena itu, berbagai tantangan atau resistensi terhadap berbagai kemajuan, sesuai pilihan yang diharapkan harus diatasi. Sukses di dalam mengatasi tantangan tergantung pada usaha nyata dan sungguh-sungguh untuk memenuhi berbagai harapan dan meraih pilihan-pilihan. Jika harapan-harapan gagal atau tak terpenuhi, maka kesuraman tahun lalu akan menjadi penyebab kesuraman baru yang lebih kelam di tahun yang seharusnya menjadi tahun harapan dan bukan tahun putus asa. Selamat bertahun baru 2012.

Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

*) Dimuat di Harian Solopos / Senin, 2 Januari 2012

Memaknai Hari Ibu

Oleh Sutrisno

Kaum perempuan di tanah air mendapat perlakuan istimewa pada 22 Desember 2011 setiap tahun yang diperingati sebagai Hari Ibu. Hari itu diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih pada ibu, memuji ke-ibu-an para ibu.

Seiring hujan turun, tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi pun masuk ke warung wedangan. Lik Wiryo pun langsung cekatan menyuguhkan minuman favorit mereka masing-masing.

Peringatan Hari Ibu pun menjadi fokus utama bincang-bincang ala orang pinggiran.
“Eh kangmas-kangmas, coba kita bagaimana memaknai Hari Ibu?” kata Ponidi mengawali dengan seruputan the ginastel.

Poniman menyulut batang rokok lalu berujar, “Ah, bagi saya, ibu itu bertugas mengurus rumah tangga. Jangan sampai melebihi peran kaum laki-laki. Ibu teman kasur, dapur, dan sumur,” dengan jujur dan polos mengutarakan pendapatnya dan asap rokok mengepul dari mulutnya.

“wah… wah…, gawat, pemikiran Kangmas Poniman kok sempit. Memaknai Hari Ibu itu tak sesempit itu dan hanya jadi ritual simbolik yang miskin makna. Hari Ibu jangan sekali-kali disejajarkan dengam makna Mother’s Day di Eropa dan Amerika. Dimana, perayaan itu hanya difungsikan untuk mengekpresikan penghargaan terhadap peran Ibu di wilayah domestik. Namun, lebih dari itu peringatan ini harus diartikan sebagai bentuk kemajuan perempuan, sesuai dengan harkat dan martabatnya yang memang dimuliakan oleh semua agama, “ sergah Ponijo yang sudah habis setengah gelas kopi jahe.

Ponidi hanya tersenyum kecil mendengar pendapat Poniman. “Kalau saya punya pendapat lain tentang ibu. Bagi saya, ibu adalah sumber nilai hidup yang sangat multifungsi. Saya sangat meyakini, ibu adalah sekolah utama, tempat kita beroleh pendidikan dan pengajaran secara integral. Dalam konteks pendidikan, ibu mentranformasi kearifan dan kebajikan.

Memandu kita tanpa henti sampai akhir hayatnya nilai-nilai kebaikan, baik yang sangat personal maupun yang sangat sosial. Dari ibu, kita beroleh hakikat cinta dan kasih sayang untuk pertama kali dan selamanya,” tutur Ponidi yang berprofesi guru.

Ubah Nasib

Sosok perempuan (baca : ibu) sekarang dipandang tidak hanya dalam ruang lingkup kecil yakni rumah tangga. Kini, mereka dipandang sebagai sosok yang mampu mengubah nasib bangsa. Itulah antara lain yang mendasari semangat Hari Ibu pada 22 Desember. Bukan hanya menjadi ibu bagi anak-anaknya, tapi menjadi ibu bagi bangsa ini.

Tiba-tiba wajah Poniman bersemangat setelah pendapatnya diremehkan di forum wedangan. Ia mengeryinkan dahinya berpikir keras menerabas ruang pemikiran kaum perempuan. “Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Perempuan adalah realitas yang terasing. Ia tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum theoloh serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan kultural dan struktural serta ketidakseraan gender sejak millenium keempat sebelum masehi sampai kini,” nada kritik pun keluar dari pemikirannya.

“Ck..ck..ck.. tak dinyana. Kangmas Poniman punya pemikiran kritis begitu. Apa yang Kangmas Poniman katakan benar adanya. Makanya, hanya dengan dekonstruksi ideologi kaum ibu yang akan melawan ketidakadilan gender. Dekontruksi bisa diartikan mempertanyakan kembali tentang apa saja. Dalam tingkatan yang tak terbatas sampai kepada penolakan ideologi yang dipaksakan,” ujar Ponijo sembari mencoba mencicipi cap jay.

“Sekali lagi, ibu merupakan sosok yang multifungsi. Ketika kini kita berada di persimpangan zaman yang sudah kisruh, gaduh dan rusuh (seperti diberitakan media massa) dan nyaris kehilangan cara untuk menyelesaikannya, maka kita butuh inspirasi ibu. Saya membayangkan bila setiap ibu di negeri ini memainkan perannya sebagaimana fungsi ibu yang sesugguhnya, Insya Allah bangsa ini akan bergerak kembali ke jalan damai dan kesejahteraan, “kata Ponidi mangakiri jagongan. (56)

Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

*) Dimuat di Harian Suara Merdeka (Wedangan) / Kamis, 22 Desember 2011

Menanti Pembuktian Pimpinan KPK

Oleh Sutrisno

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai pimpinan baru. Mereka adalah Abraham Samad, Bambang Widjajanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain. Dari antara lima orang yang menjadi pimpinan baru itu, DPR melalui pemungutan suara menjatuhkan pilihan kepada Abraham Samad, seorang advokat di Makassar yang juga penggiat antikorupsi sebagai ketua KPK.
Kita menaruh harapan besar kepada pimpinan baru KPK Abraham Samad karena kita membutuhkan hadirnya sebuah momentum yang baru dalam pemberantasan korupsi. Ketika KPK pertama di bawah pimpinan Taufiequrahman Ruki terbentuk, momentum itu dimanfaatkan betul oleh pimpinan KPK ketika itu untuk menciptakan pukulan besar (big bang).
Saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Abraham menginginkan KPK tidak lagi hanya menangkapi koruptor kelas teri. Doktor hukum itu menghendaki lembaga antikorupsi itu lebih fokus membongkar korupsi-korupsi skala besar, yang dia istilahkan sebagai big fish. Memang selama kepemimpinan sebelumnya, KPK tidak pernah menunjukkan kehebatannya dengan berbagai kewenangan luar biasa yang dimilikinya untuk membongkar tindak pidana korupsi yang menggerogoti uang negara dalam jumlah besar.
Kini Abraham Samad yang terpilih sebagai ketua baru KPK patut membuktikan janjinya untuk membongkar kasus-kasus korupsi besar. Salah satu tuga utama yang dibebankan kepada Abraham Samad, adalah penuntasan skandal Bank Century yang menurut audit Badan Pemerikas Keuangan (BPK) ada indikasi terjadi kerugian uang negara seebasar Rp 6,7 triliun. KPK jangan beralasan tidak menemukan unsur pidana korupsi dalam pengucurann dana talangan Bank Century. Apalagi DPR sudah merekomendasikan bahwa bailout bank tersebut melanggar aturan, dan karena itu sejumlah nama perlu dimintai pertanggungjawaban, termasuk Wapres Boediono yang saat itu menjabat Gubernur BI.
Apalagi, menurut Anggota Pansus Bank Century dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, ada bukti baru dalam kasus Bank Century. Bukti itu berupa adanya dua hingga tiga surat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang juga Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat itu, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukti ini menggugurkan klaim atau argumentasi yang menekankan bahwa Presiden tidak tahu apa-apa tentang dana talangan untuk Bank Century.
Begitu pula dalam kasus suap pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia, puluhan politisi senayan sudah dihukum masuk penjara. Ada orang yang didakwa menerima suap, tapi KPK belum juga bisa menjerat siapa pemberi suap. Wajar bila dari perjalanan pengusutan kasus itu, muncul penilaian lembaga yang ditakuti para koruptor itu tebang pilih, memilah-milah mana yang bisa dijadikan tersangka dan siapa yang harus dijauhkan dari daftar tersangka.
Keseriusan KPK juga ditunggu setelah Nunun Nurbaetie tertangkap. Kebetulan suami Nunun adalah Adang Daradjatun, anggota Komisi III, yang ikut memilih para pemimpin KPK. Tertangkapnya Nunun menjadi ujian awal dan pembuktian bagi KPK dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar lainnya. Oleh karena itu, tidak ada jalan bagi KPK selain menuntaskan kasus suap cek pelawat sebagai “pintu masuk” bagi penuntasan kasus-kasus korupsi lain.


Lalu kasus Gayus Tambunan. Sejauh ini KPK tidak berani menyeret atasan Gayus yang lebih tinggi lagi, Bagaimana Gayus bisa seperkasa itu bila tanpa sepengetahuan atasan? Termasuk beberapa perusahaan besar yang menyuap Gayus juga belum diusut dan diperiksa.
Juga kasus M Nazaruddin. Sejauh ini sejumlah nama pejabat dan politisi telah disebut dalam gurita korupsi yang diduga melibatkan bekas anggota DPR itu, dari proyek wisma atlet SEA Games Palembang hingga proyek Stadion Hambalang, Bogor. KPK harus memeriksa dan mengusut semua politikus dan pejabat sebagaimana tudingan Nazaruddin. KPK bisa berpijak pada Pasal 21 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur ancaman pidana bagi siapa pun yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan KPK baik secara langsung maupun tidak langsung.
Inilah momentum berharga untuk membuktikan kepada publik, bahwa hukum masih bisa ditegakkan. Bahwa semua orang, tak terkecuali Anggota DPR, ketua parpol besar, bahkan parpol penguasa pun tunduk di muka hukum.
Menarik apa yang diungkapkan Busyro Muqoddas, salah satu pimpinan KPK terpilih, dalam acara memperingati hari Antikorupsi Internasional, Jumat (9/12) lalu bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia telah berkembang semakin masif. Korbannya pun, semakin bertambah. Jika tidak diberantas secara sistemik, korupsi berpotensi merusak budaya bangsa.
Kita berharap, Abraham Samad dan pimpinan KPK lainnya bisa menjadi sosok pendekar KPK dan tidak mudah terbujuk godaan. Jadikan KPK sebagai “kucing ganas” yang siap memangsa para koruptor. Bersama Abraham Samad, KPK wajib bekerja lebih keras, meningkatkan kinerjanya sehingga penyidikan satu kasus tidak memakan waktu lama, bertahun-tahun. Termasuk, melakukan perubahan ke arah pola pikir progresif-reformatif dan mau menanggalkan tradisi lama seperti enggan menyentuh koruptor kakap yang dekat pada kekuasaan. Kita menanti pembuktian Abraham Samad Cs. Selamat bertugas pimpinan baru KPK!

*) Dimuat Di Harian Wawasan / Kamis, 15 Desember 2011

Menolak RUU Perguruan Tinggi

Oleh Sutrisno

Pasca pembatalan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sekarang pemerintah mengajukan RUU baru yang tidak ada bedanya dengan UU BHP, yakni RUU Perguruan Tinggi. Sebagian besar pasal RUU Perguruan Tinggi sarat kepentingan asing dan meminggirkan kepentingan rakyat sebagai elemen penting yang seharusnya mendapatkan hak pendidikan. Salah satu prinsip berbau privatisasi dalam RUU PT itu adalah semangat untuk memaksakan otonomi perguruan tinggi.

Di sini, otonomi perguruan tinggi diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian perguruan tinggi dalam mengelola lembaganya, termasuk dalam tata kelola keuangan. Pasal 9 Ayat (1) RUU Perguruan Tinggi menyatakan bahwa kemandirian Perguruan Tinggi untuk mengelola pendidikan tinggi diberikan dengan tahapan sebagai berikut: a) Perguruan Tinggi dengan kemandirian penuh bagi PTP dan PTM; b) Perguruan Tinggi dengan kemandirian sebagian bagi PTP dengan cara menerapkan PPK-BLU dan PTM dalam pengelolaan kegiatan akademik; c) PTP sebagai unit pelaksana teknis pemerintah.

Substansi Pasal 9 Ayat (1) sebagai kemandirian "semu" akan menjadi pintu utama masuknya liberalisasi perguruan tinggi. Kewaspadaan terhadap regulasi pemerintah yang sarat titipan adalah upaya menangkal atas pembiaran terhadap kehancuran negeri. RUU Perguruan tinggi cenderung mengomersialkan pendidikan tinggi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme pendidikan.

Pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Sebab, mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR (Pasal 86 Ayat (2). Artinya, mahasiswa harus membayar biaya yang sangat mahal akibat dari otonomi kampus, sehingga pendidikan menjadi diskriminatif karena hanya orang-orang kaya yang dapat mengenyam pendidikan tinggi, sedang rakyat miskin tidak dapat menikmati bangku perkuliahan.

Merujuk pada Mohamedbhai (2002) sebagaimana dikutip Agus Suwignyo (2008) dalam buku Pendidikan Tinggi & Goncangan Perubahan, dampak neoliberalisasi pendidikan tinggi di negara berkembang meliputi tiga hal. Pertama, neoliberalisasi mengaburkan misi pendidikan tinggi di negara berkembang yang saat ini terfokus "secara merata" pada aspek ekonomi, sosialbudaya, dan politik. Neoliberalisasi membuat misi pendidikan terfokus hanya pada aspek ekonomi.

Hal ini terbukti pada RUU Perguruan Tinggi. Pasal 91 Ayat (3) menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerja sama internasional dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia atau membuka perguruan tinggi di negara lain. Maksudnya ialah perguruan tinggi asing dapat membuka cabang di Indonesia. Inilah "semangat dagang" dalam RUU Perguruan Tinggi.

Siapa yang menjamin kalau kerja sama pendidikan tinggi asing dengan kampus lokal berjalan fair? Jangan-jangan kampus lokal nantinya hanya dijadikan boneka. Di situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional tentang pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal tentu ada pikiran konseptual, betapa pun "kecil" konsep itu.

Adapun mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung "menelan saja" pendapat yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya argumen yang nalariah (Daoed Joesoef, 2007). Kedua, neoliberalisasi merampas otonomi pendidikan tinggi, sebab pendidikan tinggi negara berkembang yang sedang mencari "jati dirinya" selepas bayang-bayang kolonialisme itu harus tunduk pada mekanisme dan dorongan pasar.

Pemberian otonomi berimplikasi dibolehkannya pendirian usaha mandiri yang dilakukan perguruan tinggi. Kebijakan kemandirian fi nansial membuat perguruan tinggi dipaksa memutar otak mencari dana sehingga berdampak usaha memperbesar aktiva. Persaingan berkembang seperti hukum rimba; siapa yang kuat, dia yang menang. Semua berlomba mengejar modal agar tidak berdampak pada kebangkrutan institusi pendidikan. Ketiga, deregulasi dalam neoliberalisasi memungkinkan pendidikan tinggi di negara maju diselenggarakan di negara berkembang.

Karena keterbatasan sumber daya ekonomi dan manusia, juga karena legasi kolonial, pendidikan tinggi di negara berkembang akan kesulitan jika harus bersaing dengan pendidikan tinggi dari negara maju. RUU Pendidikan Tinggi merupakan kepanjangan tangan sekelompok orang yang memiliki tujuan menjadikan negeri ini tetap terbelakang. Bahkan, ia menjadi penguat legitimasi supaya praktik neoliberalisasi pendidikan tinggi menjadi kian bertambah tumbuh subur di negeri ini.

Sisi "jualan" pendidikan nasional seakan telah dinaturalisasi negara. Sistem pendidikan nasional yang dikembangkan sejak masa Daoed Joesoef, dilanjutkan pengembangan aspek link and match yang menegosiasikan tujuan pendidikan dan pasar kerja, memungkinkan pendidikan tidak mengarah pada tujuan kritis (critical sciences), tetapi pragmatis. Oleh karena itu, RUU Perguruan Tinggi harus kita tolak.

Sebab, di dalamnya akan menjustifi kasi praktik neoliberalisme pendidikan tinggi. Hal ini tidak sejalan dan sebangun dengan semangat untuk memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan. Jika RUU Perguruan tinggi disahkan, dikhawatirkan akan menyingkirkan bahkan membunuh talenta anakanak cerdas dari kalangan masyarakat miskin akibat mahalnya biaya pendidikan.

Bahkan, RUU ini dinilai juga akan membuka peluang masuknya investor asing untuk menguasai aset-aset pendidikan, sehingga dikhawatirkan akan melunturkan nilai-nilai kesejatian diri, kehormatan, dan martabat bangsa. Sangat jelas bahwa RUU Perguruan Tinggi bertolak belakang dengan filosofi Pancasila dan UUD 1945 yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sutrisno
Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri dan pemerhati masalah bangsa

*) Dimuat di Koran Jakarta / Selasa, 13 Desember 2011

Gerak Politik Parpol

Oleh: Sutrisno

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin, Jumat (11/11) lalu, mengumumkan, berdasarkan hasil verifikasi atas 14 parpol yang mendaftar sejak 17 Januari hingga 22 Agustus 2011, hanya Partai Nasdem yang lolos verifikasi. Sedangkan parpol baru seperti Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN), dan Partai Karya Republik, diberi kesempatan menyelesaikan persyaratan administrasi sebagai badan hukum.
Adanya parpol dianggap sudah menunjukkan substansi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi dianggap sudah berjalan, ketika kita memiliki lembaga-lembaga (institusi) politik. Tentu pandangan ini tidak salah, tetapi kurang lengkap. Sebab, keberadaan institusi politik tidak serta-merta menaikkan kualitas demokrasi jika institusi tersebut tidak menunjukkan kinerja demokrasi. Jika kinerja institusi tidak baik, kita hanya terjebak kepada demokrasi prosedural, bukan substantif.
Konsep negara demokrasi memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari parpol. Sedangkan untuk menjaga eksistensi parpol di parlemen dan pemerintahan memerlukan partisipasi politik dari rakyat di mana partai itu berada. Parpol merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan mengaitkannya dengan aksi politik dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Jadi, orientasi parpol itu umumnya bertujuan untuk merebut kekuasaan dan mempengaruhi atau membuat suatu kebijakan yang menentukan nasib kebanyakan orang. Tetapi, instrumen parpol tidak akan berjalan tanpa adanya partisipasi politik. Miriam Budiardjo menyatakan, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contracting) dengan pejabat pemerintah dan sebagainya.
Sedangkan Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science, menyebutkan, partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Demokrasi memang membebaskan siapa pun mendirikan parpol. Tapi, yang seyogianya dipahami, demokrasi juga membutuhkan syarat adanya penataan. Para teoritisi demokratisasi seperti Samuel Huntington, Larry Diamond, Guillermo Donnel dan Philippe Schmitter, menyebut penataan politik sebagai proses lanjutan dari transisi demokrasi. Tanpa penataan atau dikonsolidasikan, bukan tidak mungkin negeri ini akan terjebak pada dua kemungkinan yang sama-sama buruk: (1) transisi yang permanen (permanent transition) atau bahkan anarki yang berkepanjangan (sustainable anarchy); dan (2) kembalinya sistem lama yang antidemokrasi. Dua kemungkinan buruk ini sekarang tengah mengancam proses demokratisasi di negeri ini. Untuk mencegahnya diperlukan aturan main yang memadai untuk menjamin berlangsungnya penataan demokrasi.
Tidak adanya konsolidasi demokrasi dan politik demokratis baru merupakan problem kritis dalam transisi demokrasi hari ini. Demokratisasi terhadap lima arena utama konsolidasi demokrasi modern (civil society, political society, economic society, rule of law, state apparatus) merupakan keniscayaan, tetapi tidak akan cukup untuk menjamin demokrasi jangka panjang bila hanya berhenti sebagai reorganisasi kelembagaan.
Kenyataannya memang, parpol terlalu sibuk dengan dirinya sehingga melupakan lima agenda utama demokrasi. Akibatnya, kepercayaan terhadap parpol menurun drastis. Jika ditambah dengan berbagai hasil survei yang menyatakan bahwa parpol sebagai salah satu lembaga terkorup, berarti persoalannya tidak sekadar pendirian atau gonta-ganti nama partai. Tetapi, bagaimana seharusnya parpol bisa menjadi alat untuk meraih kesejahteraan rakyat, bukan semata-mata kesejahteraan wakil rakyat. Ideologi dan platform partai-partai baru harus jelas agar bisa mendapatkan tempat dan menyejahterakan kehidupan rakyat.
Dalam pandangan banyak pengamat, parpol-parpol saat ini sedang bergelut dengan yang namanya krisis, baik itu menyangkut identitas maupun ideologi. Akibatnya, visi, misi, dan arah programnya menjadi kabur atau masih dalam tataran di atas kertas yang menghiasi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD dan ART). Meskipun sejumlah parpol mengklaim memiliki ideologi yang jelas, toh kenyataannya hal itu tak lebih sekadar aksesoris. Belum menjadi acuan dalam bertingkah laku para elitenya, atau menjadi rumusan dalam perjuangan politik partai yang bersangkutan.
Dalam kondisi seperti itu, marilah kita cermati, apakah gerak politik para pendiri parpol baru maupun elite parpol yang sudah eksis saat ini memegang kesantunan dan beretika? Apakah mereka sudah punya prinsip untuk menyatu dengan hati nurani rakyat, luwes, serta konsisten untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat? Mari senantiasa kita “persembahkan” pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada mereka.

Sutrisno: Pendidik, Pemerhati masalah bangsa.

*) Dimuat di Harian Joglosemar / Sabtu, 3 Desember 2011

Meningkatkan Kinerja Guru

Oleh Sutrisno

Guru sangat berperan untuk melakukan pembangunan di sebuah negara. Jadi, yang mesti diperhatikan oleh pemerintah pada saat ini adalah meningkatkan kinerja guru.
Guru merupakan salah satu unsur yang dianggap sangat menentukan tinggi-rendahnya mutu pendidikan di sekolah. Dalam kebutuhan minimal sarana dan fasilitas pendidikan yang relatif terpenuhi, tampak bahwa investasi biaya pendidikan melalui peningkatan kesejahteraan guru lebih mampu meningkatkan mutu daripada melalui penyediaan sarana. Apabila dilihat dari segi pelaku, persoalan mendasar dari mutu pendidikan adalah kesejahteraan guru.

Kesejahteraan meliputi aspek material dan nonmaterial. Nonmaterial misalnya kemudahan naik pangkat, suasana kerja yang sejuk, dan perlindungan hukum. Adapun yang termasuk kesejahteraan material adalah gaji, tunjangan, dan insentif lainnya.

Pemerintah pun telah memberikan tunjangan sertifikasi guru sebagaimana amanat dari UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan Permendiknas No 18/2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Tujuan utama dari sertifikasi guru itu adalah meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan proses dan hasil pendidikan, mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional, dan meningkatkan kesejahteraan guru.

Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi yang sangat strategis dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di lingkungan pendidikan. Kita lihat kinerja guru menurut para ahli, di antaranya Kamars (1994:104) seperti dikutip oleh Adnan (1966:1219). Kinerja guru merupakan terjemahan dari kata performance yang berarti kemauan melakukan suatu pekerjaan. Dapat juga kita lihat dalam kamus bahasa Indonesia (1995:233) bahwa kinerja adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, dan kemampuan bekerja.

Kita lihat, kondisi pendidikan pada hari ini sangat jauh dari yang kita cita-citakan sebelumnya, yaitu pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Betapa banyak siswa yang tidak lulus dari ujian akhir nasional, mulai dari siswa yang berada di pusat kota sampai siswa yang berada di daerah-daerah. Hal tersebut salah satu penyebabnya adalah kinerja guru yang kurang baik. Banyak yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita pada saat ini, bagaimana kinerja guru akan berdampak pada pendidikan yang lebih bermutu.

Pendidikan adalah suatu usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan orang banyak atau bangsa dan negaranya sendiri. Sistem pendidikan nasional pada saat ini sangat memiliki posisi yang sangat lemah dengan terjadinya perubahan kurikulum yang terus-menerus. Perubahan kurikulum tersebut akan berdampak sekali pada guru itu sendiri dan bisa juga mengakibatkan frustrasi bagi guru yang memiliki kemampuan minimal.

Yang tak habis pikir bagi kita, mengapa kurikulum itu sering bergonta-ganti? Apakah hal tersebut suatu proyek? Hal tersebut tidak bisa kita ketahui secara pasti. Sebagaimana kita ketahui, sudah banyak perubahan kurikulum mulai dari awal kemerdekaan sampai era reformasi ini, tetapi hal tersebut tidak membawa perubahan bagi pendidikan itu sendiri. Apa yang mesti kita lakukan supaya pendidikan di negara kita dapat menjadi pendidikan yang bermutu, yang salah satunya menuntut adanya peningkatan kinerja guru?

Dalam pendidikan, guru sangat berperan aktif untuk melancarkan proses belajar-mengajar, baik pada jenjang pendidikan formal maupun pada jenjang pendidikan nonformal. Seorang guru diharapkan keprofesionalannya untuk memberikan suatu materi pada peserta didik.

Profesi itu pada hakikatnya adalah suatu janji seseorang bahwa mereka akan mengabdi pada suatu jabatan yang diperolehnya dan merasa terpanggil untuk mengabdi dan akan bertanggung jawab demi terlaksananya proses pendidikan.

Tujuan kinerja guru ada beberapa hal. Pertama, guru memiliki program kerja yang jelas. Seorang guru harus memiliki program kerja yang jelas supaya dalam proses pendidikan tidak terjadi penyimpangan dalam penyampaian materi yang akan diberikan kepada siswa dan siswa dapat dengan cepat menangkap apa yang disampaikan oleh guru tersebut.

Kedua, seorang guru harus bisa memvariasikan metode pembelajaran supaya nantinya para siswa tidak merasa bosan dalam proses belajar-mengajar. Yang dapat kita lihat, seorang guru itu memberikan pelajaran hanya satu metode, dan itu dapat membosankan para siswa dalam kelas.

Ketiga, seorang guru harus bisa memberikan motivasi kepada siswanya dalam proses belajar-mengajar supaya apa-apa yang disampaikan guru dapat dikerjakan oleh siswa dengan baik. Memberikan motivasi itu sangat berpengaruh pada siswa karena siswa merasa diperhatikan oleh gurunya sendiri.

Untuk memahami profesi, kita harus mengenali melalui ciri-cirnya, antara lain memiliki suatu keahlian khusus, merupakan suatu panggilan hidup, memiliki teori-teori yang baku secara universal, serta mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri. Tidak sampai di ini, seorang guru juga dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif, memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya, dan memunyai kode etik.

Ciri-ciri tersebut masih bersifat umum karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru, berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran, baik di dalam maupun di luar kelas.

Kita yakin bahwa di era globalisasi ini, informasi sangat mudah kita dapatkan, mulai dari informasi yang sering kita dengar maupun informasi yang belum pernah kita dengar. Hal tersebut dapat diatasi dengan baik jika seorang guru memperhatikan dengan baik apa yang mesti dilakukannya dalam proses belajar-mengajar.

Kita yakin dengan diperhatikannya kinerja guru, pendidikan di Indonesia dapat setara dengan negara-negara berkembang seperti Jepang yang sudah maju. Kita pernah mendengar pada waktu Jepang dikalahkan oleh Sekutu, orang Jepang tersebut menanyakan berapa orang guru yang tinggal, mereka tidak menanyakan berapa kerugian yang dialaminya.

Dari hal tersebut, guru sangat berperan untuk melakukan pembangunan di sebuah negara. Jadi yang mesti diperhatikan oleh pemerintah pada saat ini adalah meningkatkan kinerja guru. Jika guru telah sepenuh hati mengabdi pada negara yang kita cintai ini, negara kita akan maju untuk selama-lamanya. Tak kalah pentingnya, para guru perlu menumbuhkan kesadaran internal untuk melakukan perbaikan dan perubahan kinerja. Guru perlu mengetahui persis kewajiban dan penguasaan kompetensi secara maksimal. Selamat Hari Guru!

Sutrisno, penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

*)Dimuat di Koran Jakarta | Sabtu, 26 November 2011