NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Jumat, 24 September 2010

Reshuffle Kabinet, Ya atau Tidak?

Dimuat di Harian Joglosemar / Jumat, 24/09/2010

- Sutrisno

Penulis adalah pemerhati
masalah sosial dan politik,
guru di SMPN 1 Wonogiri, tinggal di Solo

Isu bakal dilakukannya reshuffle kabinet pada Oktober 2010 semakin berembus kencang. Isu reshuffle kali pertama dilontarkan anggota Dewan Penasihat Partai Demokrat Ahmad Mubarok. Tentu saja isu dari orang dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyno (SBY) itu menjadi bola panas di sekitar partai politik yang memiliki “saham” menteri di kabinet.

Tak mengherankan jika bola panas yang dilempar oleh salah satu petinggi partai yang berkuasa itu menyengat sebagian partai politik (Parpol) koalisi yang langsung bereaksi, mulai dari yang lembut sampai yang keras. Umumnya petinggi-petinggi Parpol anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) yang menterinya terkena rapor merah menuding Ahmad Mubarok mengada-ada dan mendahului sang pemilik hak prerogatif, yaitu Presiden SBY. Sebagian lagi tentu ada yang mengamini dan diam-diam berharap agar Ahmad Mubarok benar, karena berarti ada kesempatan buat partainya menambah posisi di kabinet.

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro Mangkusubroto, sudah menyerahkan hasil evaluasi kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II untuk periode Juli-Agustus (Jawa Pos, 9/9/2010). Pada evaluasi kabinet sebelumnya, Kuntoro memaparkan bahwa hingga Juni 2010 terdapat sekitar 49 rencana aksi dari 369 rencana aksi para menteri yang hasilnya mengecewakan. Dari sekian banyak program yang dijalankan para menteri, sejumlah 58 program dinilai sangat memuaskan, 235 program memuaskan, dan 15 program dinilai kurang memuaskan.

Adapun laporan UKP4 menyatakan terdapat lima kementerian dan lembaga mendapatkan rapor merah, belum memenuhi target. Di antaranya, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal). Namun, di lapangan kita melihat masih banyak kementerian lainnya yang juga tidak bekerja optimal, seperti Kesehatan, Tenaga Kerja, Sosial dll. Rakyat semakin merasakan kesulitan dalam hidup dan kehidupan.

Angka pengangguran semakin memprihatinkan, sulitnya mendapatkan akses kesehatan, dan tingginya penyakit sosial di masyarakat. Sepertinya program pro-rakyat hanya di mulut saja, karena dalam realisasinya rakyat merasa hanya dijadikan objek belaka. Lihat saja program pengalihan kompor minyak tanah ke gas yang hanya melahirkan banyak korban berjatuhan, sehingga rakyat kecil kini lebih memilih (kembali) menggunakan kayu bakar ketimbang kompor gas yang rawan meledak.

Pertanyaannya sekarang, akankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menindaklanjuti laporan dari UKP4 untuk me-reshufle kabinet? Perombakan kabinet merupakan suatu yang biasa dan menjadi hak prerogatif presiden. Reshuffle biasanya terjadi dengan tujuan penyegaran, perbaikan kinerja kabinet, atau karena ada anggota kabinet yang melanggar hukum dan telah memperoleh putusan hukum tetap.

Hemat kita, laporan UKP4 perlu menjadi bahan masukan bagi Presiden SBY untuk melihat kinerja masing-masing pembantunya. Apalagi kalau masanya sudah hampir setahun Oktober 2010. Namun perlu kita ingatkan jangan sampai Presiden melakukan blunder melakukan pergantian menterinya hanya karena desakan Parpol. Kalau memang kinerjanya buruk, rapornya merah diganti, pasti mendapat dukungan dari rakyat. Tapi, jangan mengganti menteri karena tidak mendukung kebijakan pemerintah yang dinilai salah atau tidak pro-rakyat.

Menyedihkan
Kalau reshuffle dilakukan karena faktor bargaining politik, ini tentu sangat menyedihkan dalam tata pemerintahan kita. Karena para menteri bekerja untuk rakyat dan bukan untuk para politisi yang tergabung dalam parpol. Dukungan politik harus bisa dibedakan dengan dukungan kinerja yang dilakukan para menteri. Kalau reshuffle hanya berdasar kalkulasi dukungan politis kepada Presiden SBY, maka ini sangat tidak bisa diterima secara objektif dan patut dipertanyakan.

Tapi sebaliknya, kalau memang alasan reshuffle menteri adalah karena bermasalah di kecakapan kinerja berdasar evaluasi yang terukur, maka reshuffle itu hal yang wajib dilakukan. Jika sejak dini Presiden SBY memang menemukan ketidakbecusan bekerja di kalangan pembantunya, maka cara yang jitu memang harus mengganti yang bersangkutan. Penggantian karena alasan ini akan berdampak positif bagi rakyat.

Presiden harus mengambil tindakan terhadap hasil evaluasi UKP4 tersebut. SBY tentu dapat menentukan tindakan yang pas dan tepat terhadap menteri yang rapornya merah. Dengan demikian, hasil evaluasi UKP4 bukan sekadar basa-basi. Para menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu II juga tidak menganggap hasil evaluasi UKP4 sebagai angin lalu, tetapi menjadi cambuk untuk bekerja lebih keras lagi. Pada sisi lain, partai politik atau menteri yang mendapat nilai merah dari lembaga pimpinan Kuntoro Mangkusubroto itu dengan legawa mengapresiasinya. Tidak perlu melakukan manuver yang bertujuan mempertahankan kader di kabinet.

Tindakan konkret Presiden SBY juga perlu, agar isu reshuffle tidak terus menggelinding yang membuat situasi politik semakin panas dan tidak kondusif. Presiden SBY harus berani mengambil langkah lebih maju agar dengan sekali pukul, persoalan bangsa dapat teratasi secara mendasar. Karena politik pada dasarnya adalah upaya tertinggi untuk menyejahterakan rakyat. Maka siapa pun anak bangsa yang baik, dia berhak mendapat posisi politik dan berjuang untuk kesejahteraan rakyat.

Tanpa itu, para menteri yang disebut-sebut mendapat rapor merah tidak akan bisa bekerja dengan tenang dan baik. Mereka akan terus-menerus digoyang dengan isu reshuffle. Publik menginginkan para menteri bekerja maksimal untuk merealisasikan janji-janji kampanye SBY-Boediono saat pemilihan presiden (Pilpres) 2009 lalu, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat. (***)

Membaca kemenangan Danar

Dimuat di Harian Solopos Edisi Sabtu, 18 September 2010 , Hal.4

Mencermati perkembangan grafik perolehan suara di Pilkada Kabupaten Wonogiri, pasangan nomor urut 4 yang diusung PAN, PPP dan Gerindra dipastikan akan unggul sampai KPU Kabupaten Wonogiri kelak menetapkan secara resmi perolehan suara masing-masing kandidat.

Hasil sementara sampai Jumat (17/9) pukul 14.50 24 WIB menunjukkan pasangan Sumaryoto-Begug 28,09%; Sutadi-Paryanti 19,49%, Mulyadi-Edy 12,10% dan Danar-Yuli 40,32%.

Hal ini sungguh mengherankan sekaligus menyajikan wacana baru tentang Pilkada di Kabupaten tersebut. Betapa tidak, pasangan yang diusung oleh partai relatif kecil, tetapi mampu mencapai kemenangan mutlak. Sementara, pasangan nomor urut 1 (Sumaryoto-Begug Poernomosidi), petahana (incumbent) yang diusung partai besar justru terpuruk. Padahal, kedua partai pengusung (PDIP dan PKS) dikenal sebagai partai dengan soliditas struktur dan kader yang militan tetapi justru rontok.

Terdapat beberapa hal yang dapat dibaca dari kemenangan Danar. Pertama, secara personal Danar merupakan sosok yang memiliki jaringan tradisional dengan para pemilih. Seperti telah diketahui, bahwa pada Pilkada lima tahun lalu, Danar kalah telak oleh pasangan incumbent (Begug-Sumarmo). Namun demikian, kekalahan ini tidak menyurutkan Danar untuk menggunakan sebagai pelajaran sekaligus investasi politik. Sejak itu, Danar dengan sabar memelihara para pemilihnya dengan cara tradisional tetapi familier. Tokoh ini kemudian dikenal sebagai orang yang entengan untuk mengisi pengajian di desa-desa, menyambung silaturahmi dengan mengunjungi mereka yang punya kerja, bahkan bersedia untuk menjadi pembawa acara dalam acara hajatan di pedesaan.

Hal ini merupakan investasi dan buah pelajaran yang mungkin dipetik dari Begug yang saat itu mengalahkannya. Begug dikenal rajin dan tak sungkan blusukan ke dapur warga secara familier saat tilik desa. Hal-hal tersebut sudah tentu sekaligus menjadi investasi politik dengan melebarkan sayap “perkenalan” meskipun dari pinggiran.

Hal sangat brilian, yang justru tidak dilakukan kandidat lain, secara intensif meskipun nonformal, Danar sabar menjalin komunikasi dengan para pamong desa. Hal ini mungkin dilandasi bahwa selama itu Danar sadar tidak memiliki jaringan masif sampai menyentuh grass root. Nyatanya, hal ini berhasil. Faktor jaringan yang dimiliki Danar jauh lebih solid meskipun bergerak tak kentara. Siapa menyangkal bahwa para pamong ini justru memiliki akses langsung dengan masyarakat bawah dibandingkan dengan tim instan yang cenderung elitis dimiliki para kandidat.

Kedua, faktor eksternal yang secara keseluruhan menguntungkan Danar. Siapa pun tidak menyangkal kepopuleran pasangan nomor urut 1 (Sumaryoto-Begug) yang semula diprediksi menjadi rival terberat Danar. Namun kepopuleran tersebut runtuh dengan nalar psikologis orang Jawa yang mungkin luput dari pemikiran para pengusungnya.

Seperti diketahui bahwa pada mulanya pasangan yang mendaftar melalui PDIP adalah Sumaryoto-Suprapto, Mulyadi-Begug Poernomosidi dan Kirno Sulieh-Edy Purwanto. Akan tetapi DPP PDIP memberikan restu kepada Sumaryoto-Begug; pasangan yang dikenal luas kurang akur secara personal. Seorang Bupati yang rela mencalonkan diri lagi sebagai wakil bupati karena tidak mungkin maju untuk kali ketiga.

Faktor kepopuleran Begug mungkin yang menjadi pertimbangan DPP PDIP untuk merestui pasangan nomor urut 1 tersebut. Tetapi, Begug yang dikenal sangat njawani itu terperosok pada filosofi rendah hati orang Jawa. Apa kata orang Jawa ketika orang yang semestinya berhenti untuk menjadi orang tua yang dihormati tetapi nekat maju sebagai penguasa? Masyarakat Jawa membacanya sebagai “keserakahan” yang tidak layak untuk didukung. Dan ini terbukti! Dukungan Begug merosot drastis. Belum lagi ditambah faktor-faktor khusus yang kemudian entah benar atau tidak, dimainkan sebagai isu yang menjatuhkan Begug. Misalnya, Begug hendak membangun panggung hiburan di Alun-alun Kabupaten yang ramai menjadi kontroversi berpekan-pekan.

Sementara itu, kelambatan tunjangan sertifikasi guru yang sebenarnya jauh di luar kewenangan bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Begug sebagai Bupati, tetapi lagi-lagi isu ini menjadi senjata yang tiba-tiba beredar di kalangan para guru bahwa Begug mengecewakan guru karena tidak memperjuangkan haknya. Jika 50% saja guru termakan isu ini maka terdapat ribuan guru yang kecewa yang kekecewaan itu merembet ke keluarga dan lainnya.

Faktor eksternal lain adalah jenuhnya para birokrat terhadap kepemimpinan Begug. Meskipun tidak dapat dijelaskan secara meyakinkan tentang hal yang menjadi kejenuhan itu, tetapi hal ini terasa menyebar. Indikasinya jelas terasa pada safari Ramadan yang dilakukan Sang Bupati. Kehadiran Bupati dalam acara tarawih keliling tidak selalu didukung penuh dengan kesertaan lengkap para birokrat.

Meskipun mereka dalam keadaan wait and see, jelas ini merupakan awal sikap untuk meninggalkan Begug. Sikap ini sepertinya menjadi sikap simpati atas tersingkirnya Suprapto yang mantan Sekda Kabupaten Wonogiri yang pencalonannya dianggap terganggu dengan kehadiran Begug. Padahal, telah diketahui umum bahwa selama menjabat, Suprapto dikenal sebagai tokoh sabar yang dikenal luas dan sangat dihormati oleh para PNS Wonogiri.

Faktor eksternal

Faktor eksternal yang turut menjadi berkah kemenangan Danar adalah pecahnya Koalisi Bersih yang dimotori Golkar, PKS dan Demokrat. Ketika akhirnya Demokrat mampu menggalang partai lain untuk mengusung pasangan Mulyadi-Edy, kehadiran mereka jelas menggerus suara Sumaryoto-Begug tetapi tidak mengurangi suara tradisional pasangan Danar.

Kehadiran PKS yang merapat PDIP pun tidak menolong menguatnya dukungan pada pasangan Sumaryoto-Begug. Penjelasannya, massa PKS belum bisa menerima Begug dengan alasan apapun. Bukankah selama ini para petinggi PKS dikenal paling keras menyoroti sikap Begug yang dianggap terlalu sinkretis atas nama budaya dengan acara labuhan sesaji, ruwatan, wayangan dan sejenisnya yang selalu diadakan dalam acara besar-besaran?

Nah, pada Pilkada akhirnya terbukti, kantong-kantong PKS tidak solid mendukung pasangan yang diusung PKS. Pada gilirannya, massa PKS itu menjatuhkan pilihan ke Danar sebab lima tahun lalu, mereka mati-matian mengusung Danar. Pilihan mengusung Begug oleh para elite PKS dianggap mengkhianati perasaan kader bawah. Lengkap sudah semua keberuntungan itu menjadi durian runtuh ke kubu Danar.

Yang aneh tentunya, pertanyaan ke mana pula arah massa PDIP. Melihat dari perolehan suara, jelas mereka sebagian besar ke Danar. Mengapa? Agaknya terjadi kesulitan komunikasi untuk memberi penjelasan yang rasional kepada massa PDIP tentang kehadiran Begug. Penjelasannya kembali ke awal tulisan ini. Adalah rasa psikologis orang Jawa, bahwa Begug seorang penguasa yang belum legawa, tidak memiliki rasa penerimaan (nrima) dan kemudian dinilai tidak layak didukung.

Hikmah terbesar bagi yang kalah, terutama PDIP dan PKS, bahwa betapapun solid dan rapinya struktur, mereka tidak bisa mengingkari bahkan meninggalkan perasaan massa pendukung. Ketika segala keputusan yang diambil meninggalkan nuansa kebatinan para pendukung, justru para pendukung itu menghukumnya dengan nyekekerke para elite dan petinggi partai. Hal ini menunjukkan pula bahwa masyarakat memiliki kecerdasan politik, yang hak serta kewenangan politiknya tidak bisa dikalahkan dengan kesertaan atau keanggotaan jika memang kata hatinya sulit untuk didamaikan dengan kenyataan. Wallahualam. - Oleh : Ki Lebdo Carito (Parman Hanief)