NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Senin, 29 Agustus 2011

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432 H



Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Taqaballahu Minna Wa Minkum...Taqobbal Ya Karim. Minal Aidzin Walfaizin. Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT dan kita dipertemukan dengan Bulan Ramadhan tahun depan dengan lebih baik lagi. Amin.

Sabtu, 27 Agustus 2011

Parsel, Suap Terselubung?



Setiap menjelang Lebaran, selalu muncul kontroversi soal parsel, yakni bolehkah para pejabat negara menerima atau mengirim parsel? Parsel biasanya berupa bingkisan yang dibungkus dengan sangat indah. Isinya bisa macam-macam. Dari makanan kaleng, pakaian, perabot rumah tangga, kristal, vaucer belanja di mal-mal tertentu, cek, hingga kunci mobil. Tidak lupa disertakan pula kartu nama si pengirim selain ucapan selamat Idul Fitri. Pemberian parsel sesungguhnya sah-sah saja.

Persoalannya, siapa yang bisa menjamin adanya ketulusan yang lahir dalam hati nuraninya pemberi. Siapa yang bisa menjamin niatnya tulus tanpa ada harapan di baliknya. Apalagi pemberian parsel itu dilakukan oleh orang tertentu yang ingin mendapatkan imbalan tertentu. Katakanlah, seseorang bawahan yang hendak menduduki jabatan tertentu, maka ia akan datang mengunjungi pejabat yang berwewenang di dalamnya sambil membawa parsel, atau dari si pencari proyek ke pemberi proyek, dari pejabat BUMN ke pejabat departemen yang membawahi.

Demikian juga dengan seseorang yang perkaranya sedang dalam proses pengadilan, biasanya ia akan mengunjungi hakim atau jaksa dengan membawa parsel dalam berbagai bentuk sambil menitipkan sejumlah pesan. Praktik-praktik seperti inilah yang banyak terjadi di negara kita.

Parsel dalam jumlah tertentu dapat dikategorikan dalam pengertian suap. Terlebih belakangan ini bingkisan parsel sudah berubah wujud. Parsel tak hanya berwujud paket makanan dan minuman ringan, tetapi sudah berubah bentuk, mulai dari perlengkapan memasak, perlengkapan tidur, kristal, telepon seluler, yang nilainya bisa mencapai 10 juta - 20 juta rupiah.

Setiap pemberian parsel pasti dilandasi motif-motif (bisa positif maupun negatif) tertentu. Pemberian parsel yang dilakukan dengan motif agar si penerima parsel akan merasa berutang budi dan kemudian memberi semacam proyek setidaknya dapat dikategorikan bentuk uang sogok atau uang suap. Terlebih apabila jumlahnya cukup besar, bisa dipastikan merupakan bentuk suap terselubung, suap halus, suap tertutup.

Pemberian suap berarti praktik korupsi sudah terjadi. Maka, hal ini melanggar Pasal 12B UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diubah menjadi UU No 20/2001. Pasal itu menyebutkan yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan lain sebagainya, diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dilakukan dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronika.

Ancaman pidana dalam ketentuan tersebut ditujukan kepada pemberi maupun kepada penerima. Apabila dalam kurun waktu 30 hari segera melaporkan kepada KPK tentang adanya upaya gratifikasi kepada dirinya oleh pihak tertentu, maka si penerima tidak dikenai pidana.

Apabila merujuk pada kultur pejabat di negeri ini, rasanya sangat sulit dipercaya jika dana yang digunakan untuk membeli parsel merupakan hasil usaha pribadi. Bukan pula tabungan yang disisihkan dari gaji bulanan yang diterimanya. Logikanya, pemberian parsel akan mempergunakan anggaran dan bukan tidak mungkin dengan praktik ilegal. Nah, dari sinilah kekhawatiran bahwa budaya parsel mengarah pada gratifikasi dan praktik korupsi itu menemukan konteksnya.

Yang menjadi perhatian bersama sebenarnya bukan pada benda yang namanya parsel. Parsel itu hanya satu bagian dari sejumlah bentuk budaya pemberian yang harus kita tolak. Intinya adalah menolak budaya gratifikasi dalam arti luas. Parsel dapat menjadi laknat apabila menjadi selubung yang halus untuk memperlancar kepentingan dan bisnis tertentu. Itulah parsel yang mencerminkan politik gratifikasi yang menyuburkan agenda korupsi.

Budaya parsel sebenarnya memiliki dampak negatif bagi pejabat negara. Budaya parsel potensial melahirkan kebijakan yang subjektif dan jauh dari nilai keadilan. Mereka yang berkirim parsel kepada pejabat publik akan selalu berharap agar kebijakan yang nanti dikeluarkan menguntungkan mereka. Tanpa kemampuan dan prestasi cukup, mereka berhasil memenangi "pertandingan" sebagai dampak dari hadiah yang dikirimkan. Kalau perlu tercipta hubungan yang istimewa melebihi "kompetitor-kompetitor" lainnya. Bagi pejabat publik datangnya parsel demi parsel telah menyulitkan mereka dalam mengambil kebijakan (Muhammad Haris, 2004).

Ada motivasi individu yang kuat bagi seseorang pengirim parsel. Dalam kerangka berpikir rational choice yang menerapkan metode behaviour, bahwa harus ditelaah motif di balik perilaku individu, baik pengusaha maupun aktor birokrasi dalam membuat keputusan dan impelementasinya. Asumsi utama pendekatan rational choice bahwa individu membuat pilihan tidak dapat melepaskan diri dari tujuan untuk mengejar kepentingan pribadi.

Diperkuat dengan Tulisan Grindle (1989:19) sebagaimana yang dikutip oleh Syarif Hidayat bahwa dalam upaya mewujudkan pencapaian berbagai tujuan individu, maka seseorang akan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki sebagai alat negosiasi untuk mendapatkan sumber daya yang dikontrol oleh pihak lain.

Selain itu, parsel bukan tidak mungkin dapat memberi kontribusi atas post power syndrom. Semangat hidup menguap, kreativitas macet dan menjadi sakit-sakitan gara-gara terbentuk pemahaman, parsel salah satu aksesori kekuasaan. Akibatnya, pasca tidak menjabat menjadi makin menderita karena tidak ada lagi parsel yang beranjangsana walau sudah open house.

Sebenarnya, budaya parsel bisa diarahkan sebagai bentuk kepedulian atasan kepada bawahan maupun kepedulian pengusaha kepada kaum tak berpunya. Parsel idealnya diberikan kepada kaum tak berpunya, tanpa mengenal identitasnya. Lebih baik lagi dalam bentuk santunan beasiswa bagi anak-anak mereka yang mengalami putus sekolah. Parsel juga bisa diarahkan sebagai bentuk kepedulian terhadap korban bencana. Bukankah ini lebih bermanfaat?


Penulis: Sutrisno SPd, pemerhati masalah bangsa

Jumat, 19 Agustus 2011

Kontroversi Parcel


Kontroversi Parcel

Oleh Sutrisno

Published in Suara Merdeka / Wedangan / Solo Metro / Kamis, 18 Agustus 2011

Setiap menjelang lebaran selalu muncul kontroversi soal parcel. Bolehkan PNS dan pejabat negara menerima atau mengirim parcel?

Tahun ini, sejumlah daerah di Solo Raya menerapkan kebijakan berbeda soal pemberian parcel. Solo, Klaten dan Boyolali melarang, sedangkan Sragen, Wonogiri dan Karanganyar mengikuti kebijakan Gubernur Bibit Waluyo yang tak melarang soal parcel.

Angin sepoi-sepoi menembus lewat lubang tenda wedangan Lik Warto. Tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi asyik jagongan. Kontroversi soal Parcel menjadi tema pembicaraan mereka.

‘”Kangmas, opo salah to kalau saya dapat parcel dari para kolega dan bawahan? Kan pemberian parcel sudah tradisi, apalagi para kepala daerah juga sering mendapat parcel?” tanya Ponijo, salah satu pejabat teras di Pemkab Wonogiri.

Sambil menepuk pundak Ponijo, Poniman berusaha menjawab.
“Soal parcel memang menjadi kontroversi. Simpulan akhir sulit diperoleh. Sebagian kalangan menilai, asal masih dalam batas-batas kewajaran, pemberian parcel adalah hal yang lumrah. Akan tetapi tidak sedikit yang menilai, dalam ukuran apapun bagi pejabat penyelenggara negara adalah tindakan yang tidak wajar.”

Ponijo manggut-manggut mendengar jawaban tersebut. Tapi masih ada ganjalan dalam pikirannya, “Benarkah pemberian Parcel Lebaran itu merupakan bagian dari korupsi?”
Ponidi terusik dengan pertanyaan Ponijo. Ia pun urun rembug.

“Memberi parcel adalah budaya yang baik. Namun hal yang baik itu (dalam bentuk kasus) tidak selalu berdampak baik. Ada celah yang bisa diselewengkan dan disalahgunakan,” kata dia.

Dalam perkembangannya, kata dia, pemberian parcel mengarah kepada praktik yang kurang baik (negatif). Sejumlah instansi mendesain anggaran, baik terbuka maupun terselubung, untuk biaya parcel.
Selain itu, pengiriman parcel berubah menjadi sebuah keharusan. Akibatnya, mereka yang nekat tidak melakukan justru akan mendapatkan sanksi sosial, atau bahkan (mungkin) ada yang mendapat sanksi struktural.

Bertransformasi

Jagongan wedangan malam tiga sekawan terus mengalir. Tangan poniman mencomot bakwan dan dua lombok lantas menimpali komentar Ponidi.

“Benar sampeyan kangmas Ponidi. Parcel yang pada awalnya bermakna sebagai bingkisan kekeluargaan telah bertransdormasi sebagai mesin yang melicinkan prilaku koruptif. Silaturahmi dan relasi-relasi sosial yang mampu diakrapkan melalui parcel ternyata telah disalahgunakan. Pada titik akhirnya, parcel justru berubah fungsi sebagai perangkat untuk menjalankan praktek gratifikasi.

“Oleh karena itu, larangan agar penyelenggara negara tidak menerima dan memberi parcel patut didukung. Apalagi, jika kita melihat realitas bahwa “tikus-tikus berdasi”, baik yang ada di pusat maupun di daerah, seperti tak pernah kekurangan akal untuk melakukan gratifikasi dan menggerogoti uang rakyat dengan berbagai macam modus, “imbau Ponidi.

Ponijo mengacungkan jempolnya pada Ponidi seraya berkata, “Top..Top, setuju..setuju, masyarakat luas diharapkan tidak ikut-ikutan memelihara tradisi buruk, dimana para penyelenggara negara seolah-olah wajib harus dihargai dengan cara memberi parcel”.

Sambil dehen-dehem Poniman nyeletuk, “Sebaiknya, kita membudayakan memberi parcel pada kaum miskin”. (26)

- Penulis guru SMPN 1 Wonogiri, berdomisili di Solo