NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Rabu, 22 Desember 2010

Ibu dan Peradaban Baru; Refleksi Hari Ibu 22 Desember

Jumat, 10 Desember 2010

Menuju Pendidikan Karakter

Published by Joglosemar / Kamis, 09-12-2010

- Sutrisno
Pemerhati pendidikan,
guru di SMPN 1 Wonogiri

Pemerintah Kota (Pemkot) Solo siap meluncurkan program pendidikan berkarakter pada semester Januari mendatang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pun sudah selesai dibuat. Pendidikan berkarakter di Kota Solo akan mengarah pada pengembangan nilai-nilai budaya sebagai pembentuk karakter masyarakat, utamanya para generasi muda. Penanaman nilai budaya tersebut, ikut tertuang dalam kurikulum sekolah. Salah satu upaya konkretnya adalah dengan memberlakukan hari khusus bertutur bahasa Jawa dan penanaman budaya santun (Joglosemar, 4/10/2010).

Pada banyak momentum, kita diingatkan tentang pembangunan karakter bangsa, karena memang demikianlah tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya sangat menyambut program pendidikan karakter di Kota Solo, kota di mana saya tinggal. Apalagi, Kota Solo dikenal dengan kota budaya dan menjadi salah satu pusat pendidikan di Indonesia. Dengan adanya pendidikan berkarakter di Kota Solo, diharapkan bisa muncul lulusan dari beragam kualifikasi pendidikan yang mengenal karakter budaya Kota Solo. Paling tidak para generasi muda atau pelajar bisa rumongso atau rendah diri namun tetap mempunyai kemampuan intelektual yang andal.

Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respons atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psikososial yang humaniter dan integral.

Lantas, bagaimana upaya membangun pendidikan berkarakter di Kota Solo? Pertama, pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga. Keluarga menjadi institusi penting dalam membentuk pendidikan berkarakter bagi anak. Jika keluarga gagal melaksanakan tugas tersebut, sekolah akan mengalami kesulitan untuk menangani anak didik. institusi keluarga memiliki tiga fungsi penting, yakni fungsi pendidikan, fungsi agama, dan fungsi ekonomi. Keluarga menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter.

Kedua, kepala sekolah, pendidik (guru), dan tenaga kependidikan yang berkarakter. Yaitu orang-orang yang mampu menjunjung tinggi kejujuran, moralitas, etika, tata krama, dan sopan santun yang ke depannya akan menjadi teladan bagi para siswa.

Proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral. Pendidik yang menjunjung tinggi nilai moral akan mengutamakan nilai moral ketika berlangsungnya proses transformasi ilmu dan keterampilan kepada peserta didik. Pendidik harus dapat dijadikan panutan oleh peserta didik, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga, dan masyarakat. Melalui keteladanan itulah diharapkan siswa mampu menyerap dan menginternalisasikan apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat dari perilaku dan tindakan orang-orang di lingkungan sekolah ke dalam dirinya untuk kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya.

Ketiga, pihak sekolah perlu membuat semacam teknis pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter bisa dimasukkan menjadi bagian di dalam kurikulum, rencana pembelajaran, dan silabus, yang dikemas di dalam KTSP, model pendidikan karakter, apakah akan berdiri sendiri sebagai satuan mata ajaran, atau terintegrasi pada subjek ajar yang sudah ada. Misalnya pada mata pelajaran pendidikan agama, kewarganegaraan, ilmu budaya dan sosial dasar, dan sebagainya. Atau bisa masuk ke semua mata pelajaran. Serta membuat peraturan soal pendidikan karakter, misalnya: cara berpakaian, dilarang merokok, bertato, dan membawa barang-barang mewah dll.

Keempat, peran pemerintah. Di samping memberikan dana, maka ada banyak hal yang semestinya dibenahi antara lain: pemerintah harus berani menegur kepala sekolah yang bertindak diskriminatif, otoriter, dan menjadi raja-raja kecil yang tertutup, menindak tegas pelaku sogok pada saat penerimaan siswa baru, para guru yang terlibat suap, birokrasi sekolah yang menyusahkan rakyat miskin, dan pemberantasan pungli di lingkungan pendidikan dll.

Pengambilan kebijakan pemihakan terhadap pembangunan karakter secara konsisten ini mencerminkan karakter pemerintah yang sangat efektif dalam membangun kesadaran dan semangat pelaku pendidikan. Jika hal tersebut di atas berhasil dilaksanakan maka pemerintah akan semakin kuat legitimasinya sebagai garda depan dalam pembentukan karakter.

Kelima, melibatkan masyarakat secara penuh mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Makna karakter yang ingin dibentuk pada peserta didik harus berasal dari masyarakat dan menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya sekolah. Pilihlah pegawai pemerintah yang eligible, berkarakter kuat, dan mau fokus dan bekerja keras dalam membangun pondasi program ini. Program ini hanya bisa optimal jika penggeraknya adalah orang-orang yang disegani karena dedikasi dan karakternya yang baik. (***)

Memacu Kreativitas Menulis

Dimuat di Harian Solopos Edisi : Kamis, 25 November 2010, Hal.4

Sutrisno

Refleksi Hari Guru, 25 November 2010

Jika diamati, sebagian besar kegiatan guru di sekolah lebih berorientasi pada misi pendidikan dan pengajaran di kelas sedangkan visi dan misi ilmiah dalam bentuk penulisan dan publikasi ilmiah sering terabaikan.

Implikasinya, penulisan dan publikasi karya ilmiah di kalangan guru masih memrihatinkan. Hal ini ditandai dengan rendahnya produktivitas guru dalam menulis dan memublikasikan karya ilmiah, termasuk di dalamnya pemakaian bahasa Indonesia ragam tulis ilmiah.

Penulisan dan publikasi karya ilmiah yang dihasilkan oleh setiap guru dan tenaga kependidikan lainnya hendaknya dijadikan ajang pengembangan keilmuan dan profesi yang ditekuninya. Namun, tidak tertutup kemungkinan, penulis karya ilmiah dapat menuliskan karya mereka semata-mata karena motivasi pengumpulan angka kredit atau atas permintaan masyarakat, seperti makalah untuk seminar atau pelatihan.

Hal-hal seperti itu sebaiknya tidak dijadikan motivasi utama dalam menulis dan memublikasikan karya ilmiah. Yang lebih esensial adalah misinya pada kecintaan serta kemampuannya dalam bidang keilmuan dan profesi yang ditekuninya.

Masyarakat Barat sejak abad ke-16 sudah membudayakan kegiatan keberaksaraan (literasi) yakni membaca dan menulis. Akibatnya, peradaban mereka maju dengan pesat dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks). Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah individualisasi. Akhirnya, terjadi gejala alienasi (keterasingan), kehilangan solidaritas, dan kebersamaan. Hubungan kausal segala aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun, budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.

Individualisasi dalam masyarakat Indonesia masih mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya keseragaman. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali memperoleh ganjaran keterasingan bahkan dikucilkan.

Saat ini, disinyalir masih subur iklim keseragaman di sekolah-sekolah bahkan sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun. Hal ini tentu akan mempengaruhi pola berpikir individu. Jika siswa yang mempunyai visi, cara pandang dan pendapat yang berbeda dengan gurunya, ia akan mendapat perlakuan yang kurang baik, bahkan dicurigai, dikucilkan, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat intelektual di era informasi modern sekarang harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata per pekan apabila ia ingin mempertahankan prestasi dan prestisenya di tengah perubahan global. Dengan demikian, minimal setiap hari ia harus membaca antara empat sampai enam jam. Seorang penulis tentu saja harus melakukan kegiatan membaca seperti itu sehingga ia memiliki bahan tulisan yang banyak dan bervariasi. Jika kegiatan membaca guru baik, dapat diasumsikan bahwa kreativitas dan produktivitas guru dalam melahirkan dan memublikasikan karya ilmiah juga akan meningkat. Ada hubungan yang signifikan antara kemampuan membaca dengan produktivitas menulis karya ilmiah.

Jika jumlah guru di Indonesia saat ini sekitar 1,5 juta orang, dalam setahun setiap guru menghasilkan satu karya ilmiah saja misalnya, berapa banyak informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Kita tidak usah berbicara ideal, dari jumlah guru, 10% saja menulis dan memublikasikan karya ilmiah, berapa banyak wacana keilmuan yang dapat diserap oleh masyarakat?

Idealnya, setiap karya tulis yang dihasilkan guru diorientasikan untuk dipublikasikan sehingga akan menggugah guru untuk selalu berkarya. Mereka inilah yang berkepentingan untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta pemecahan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, akan diketahui peta karya ilmiah guru yang bersangkutan. Karya tulis dan publikasi ilmiah guru dapat dijadikan tolok ukur, indikator serta barometer kualitas dan keunggulan pendidikan (sekolah) yang bersangkutan.

Salah satu kendala yang dihadapi pengembangan ilmu di Indonesia adalah kecilnya jumlah dan rendahnya mutu karya ilmiah yang diterbitkan orang setiap tahun. Produktivitas buku atau majalah-majalah ilmiah di negara kita tidaklah sepadan dengan jumlah ilmuwan atau cendekiawan serta sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia. Hubungan antara penulis, penerbit dan pembaca merupakan segi tiga tertutup bertimbal balik, sering kali menjadi lingkaran setan bila salah satu di antara mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kendala lainnya adalah waktu penerbitan yang kedaluwarsa sehingga informasi dan wacana keilmuan yang termuat dalam publikasi tidak aktual lagi.

Pacu kreativitas

Hari Guru 25 November ini menjadi momentum untuk membudayakan menulis. Ada beberapa upaya memacu kreativitas guru dalam menulis dan memublikasikan karya ilmiah.

Pertama, membiasakan menulis dalam setiap kesempatan berdasarkan apa yang dibaca, dilihat, didengar, dirasa, maupun yang dialaminya. Tulisan ini dapat berbentuk pokok-pokok pikiran, outline (kerangka karangan), pernyataan-pernyataan, bahkan hanya menyalin ulang wacana yang dibaca beserta identifikasi rujukan. Dari kegiatan dan tradisi semacam ini akan didapatkan bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan dalam suatu penulisan.

Kedua, menumbuhkan motivasi serta keberanian menulis, bukan hanya untuk memperoleh angka kredit, apalagi penghargaan finansial. Menulis hendaknya merupakan suatu kebutuhan dan kecintaan kepada profesi yang ditekuninya. Oleh karena itu, guru hendaknya mampu mengomunikasikan berbagai tulisannya dalam berbagai forum ilmiah. Misalnya, forum akademik atau forum lain yang lebih luas, yang berfungsi sebagai media pengabdian.

Ketiga, menulis abstrak makalah dan mengirimkannya pada suatu penyelenggara seminar yang sering menawarkan. Dengan upaya ini, kemungkinan besar guru akan dapat berpartisipasi menyajikan makalah dalam forum seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah dan kegiatan sejenis lainnya.

Keempat, menulis artikel di media massa. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan menyesuaikan ragam bahasa yang diinginkan oleh suatu media penerbitan. Untuk jenis ini, digunakan ragam bahasa jurnalistik yang bersifat komunikatif dan mudah dipahami maknanya oleh pembaca yang lebih luas. Untuk membuat sebuah tulisan yang dapat dimuat di media massa ini harus dilakukan secara berulang-ulang dan tidak sekali mengirim lalu tidak pernah lagi menulis dan mengirimkannya.

Kelima, menulis handout setiap pokok bahasan dalam setiap pembelajaran berdasarkan rencana pembelajaran yang telah disusun dan ditetapkan. Dari kegiatan ini akan diperoleh peluang untuk menghasilkan buku ilmiah yang dapat diterbitkan. Atau, dapat pula dalam setiap proses pembelajaran di kelas, guru melakukan kegiatan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Dari kegiatan seperti ini akan diperoleh gambaran kondisi pembelajaran di kelas/sekolah yang sebenarnya kemudian dilakukan pelaporan tertulis hasil penelitian di kelas. Di sini guru bertindak selaku pengajar sekaligus sebagai peneliti pembelajaran.

Keenam, menuliskan gagasan, pemikiran, serta temuan penelitian untuk siap dikirim ke media massa cetak mana pun. Tidak perlu menilai dan memilih apakah media itu bersifat lokal, regional, nasional atau bahkan internasional. Akan tetapi, misi utama guru melakukan kegiatan seperti itu adalah meningkatkan kualitas dan produktivitas penulisan karya ilmiah.

- Oleh : Sutrisno Guru SMPN 1 Wonogiri