NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Sabtu, 22 Juni 2013

Bahaya Undang-Undang Pendidikan Tinggi


Di rubrik ini, Koran Tempo beberapa kali memuat artikel berkaitan dengan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT), baik yang ditulis oleh Dinda N. Yura (Koran Tempo, 26 April 2013) maupun Ade Armando (Koran Tempo, 4 Mei 2013). Kedua tulisan tersebut memiliki argumentasi dalam menelaah dan mengkaji soal UU PT. Melalui tulisan ini, saya juga akan sedikit urun rembug (ikut bicara) mengkaji eksistensi UU PT.

Sebenarnya, UU PT cacat secara filosofis, yuridis, dan sosiologis mendasar. Secara filosofis, keberadaan UU PT saat ini banyak ditolak oleh PTS maupun PTN di Indonesia. Hal ini mengingat roh dan substansinya yang belum mampu mengaktualisasikan filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Padahal roh ini seharusnya menjadi acuan nilai, tujuan, dan orientasi pendidikan tinggi yang diharapkan.

Secara yuridis, substansi UU PT masih menyisakan masalah besar terkait dengan batas-batas substansi yang seharusnya diatur dalam UU. Para penyusun UU PT juga terkesan kurang memperhatikan substansi yang seharusnya diatur dengan UU, Peraturan Pemerintah, atau cukup dengan Statuta. Seharusnya suatu UU cukup mengatur hal-hal mendasar yang merupakan penjabaran hak-hak konstitusional warga negara.

Secara sosiologis, UU PT menyimpan potensi besar untuk ditolak oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terindikasi dari menguatnya kepentingan kelompok tertentu dan belum berakomodasinya kepentingan kelompok mayoritas masyarakat Indonesia.

Di balik UU PT, ternyata menyimpan potensi bahaya terhadap dunia pendidikan. Agenda neoliberalisasi pendidikan begitu nampak dalam UU PT. Dalam UU PT disebutkan perguruan tinggi dapat melaksanakan kerja sama internasional dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia atau membuka perguruan tinggi di negara lain. Maksudnya ialah perguruan tinggi asing dapat membuka cabang di Indonesia. Inilah “semangat dagang” dalam UU PT. Siapa yang menjamin kalau kerjasama pendidikan tinggi asing dengan kampus lokal berjalan fair? Jangan-jangan kampus lokal nantinya hanya dijadikan boneka.

Di situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional tentang pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal tentu ada pikiran konseptual, betapa pun “kecil” konsep itu. Adapun mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung “menelan saja” pendapat yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya argumen yang nalariah (Daoed Joesoef, 2007). Neoliberalisasi mengaburkan misi pendidikan tinggi di negara berkembang yang saat ini terfokus “secara merata” pada aspek ekonomi, sosial-budaya dan politik. neoliberalisasi membuat misi pendidikan terfokus hanya pada aspek ekonomi (Agus Suwignyo, Pendidikan Tinggi & Goncangan Perubahan, 2008).

Bahaya lain yaitu aroma privatisasi dalam UU PT dengan semangatnya memaksakan otonomi perguruan tinggi. Di sini, otonomi perguruan tinggi diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian perguruan tinggi dalam mengelola lembaganya, termasuk dalam tata-kelola keuangan (Pasal 63). Dengan konsep “otonomi perguruan tinggi” itu, negara sebetulnya sudah lepas tangan dalam hal penyelenggaraan pendidikan nasional. Selain itu, negara juga melepas tanggung-jawabnya dalam urusan pembiayaan dan pemastian biaya pendidikan.

Dalam Pasal 88 ayat 3 UU PT disebutkan bahwa Standar satuan biaya operasional digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa. Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan: a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; b.jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah. Mencermati ketentuan tersebut, mahasiswa akan menanggung biaya operasional perguruan tinggi. Artinya, mahasiswa harus membayar biaya yang sangat mahal akibat pelaksanaan otonomi perguruan tinggi. Singkatnya, perguruan tinggi akan didorong pada orientasi komersialisme pendidikan, layaknya sebuah badan usaha yang mencari profit. Dan cara paling gampang adalah dengan menaikkan uang SPP, pemberlakuan jalur khusus, pungli, pendirian unit-unit komersil hingga komersialisasi atas aset-aset kampus. UU PT akan semakin menyingkirkan masyarakat miskin dan menjadi hantu bagi masa depan mereka. Kesempatan untuk menikmati pendidikan tinggi, makin sulit digapai seriring dengan melambungnya biaya kuliah di PTN. Itu sama artinya orang miskin dilarang kuliah. 

UU PT tidak saja menimbulkan aturan yang kaku dan statis tetapi akan melepaskan tanggung jawab pemerintah yang selama ini berfungsi sebagai fasilitator penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan nasional. Subsidi silang, otonomi pendidikan dan desentralisasi pendidikan tidak akan efektif dilaksanakan melalui UU PT. Alasan pemerintah bahwa UU PT memberi kebebasan bagi tiap-tiap instansi perguruan tinggi untuk mengelola satuan pendidikan secara otonom adalah jelas bertentangan dengan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pengendali tunggal segala kebijakan proses pendidikan.

Bahaya di balik UU PT tentu saja akan melegalkan agenda neoliberalisme yaitu liberalisasi dunia pendidikan, yang akan berdampak kepada pendidikan yang hanya akan menjadi barang dagangan dan hanya bisa dinikmati segelintir orang. Neoliberalisasi mendesakkan pola dan strategi pengelolaan modal ekonomi ke dalam dunia pendidikan. Dalam alur pikir neoliberal ada anggapan, kunci keberhasilan pengelolaan pendidikan ditentukan oleh persaingan yang terdistribusi sampai ke unit-unit paling kecil dan individu. Persaingan dipandang meningkatkan mutu karena prinsip survival of the fittest, yakni unit pendidikan atau individu yang tidak menghasilkan produk/karya sesuai standar mutu tertentu akan ter(di)singkirkan “secara alami”.

Kapitalisasi pendidikan jelas sangat merugikan rakyat kecil yang selama ini tidak mendapat hak pendidikan dari negara secara adil dan merata. Karena pendekatan paradigma kapitalisasi pendidikan senantiasa mengejar keuntungan individu dengan mengorbankan hak-hak kolektif bahkan masyarakat secara luas. UU PT yang secara garis besar memberikan peluang bagi seluruh institusi pendidikan untuk menyelenggaraan pendidikan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan pemerintah akan berdampak pada kebijakan pendidikan yang kontra konstitusional. Dimana kebijakan institusi tidak tersentral namun pada gilirannya akan terjadi kesenjangan pendidikan antara daerah kaya dan miskin.

Kesenjangan pendidikan sangat mungkin terjadi dengan UU PT, pemerintah akan lepas tanggung jawab baik secara material maupun secara kontrol kebijakan. Meskipun masih ada subsidi silang namun dilihat dari sisi kriteria yang memperoleh subsidi silang masih terdapat jauh dari harapan institusi pendidikan yang selama ini menjadi anak kandung pemerintah bernama PTN dan anak tiri bernama PTS. 

 *)  Oleh Sutrisno
      Pendidik dan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS)
**) Dimuat di Koran Tempo | Jumat
, 10 Mei 2013

 

Potret Hitam UN 2013


Lagi-lagi ujian nasional (UN) menimbulkan masalah. Hari pertama UN tingkat SMA/MA/SMK dan Paket C tidak bisa diselenggarakan secara serentak. Penyebabnya, 11 provinsi tidak bisa menggelar UN karena kendala teknis dalam pengepakan naskah soal UN di percetakan. Dalam situs resmi Kementerian, kemdiknas.go.id, disebutkan bahwa ke-11 provinsi yang mengalami penundaan/pergeseran jadwal ujian nasional adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kemendikbud memundurkan UN di 11 provinsi di Indonesia tengah yang seharusnya serentak pada hari Senin menjadi Kamis, 18 April hingga 23 April mendatang.
  Respon publik pun bermunculan. Ada yang menilai peristiwa ini sebagai bukti tidak profesionalnya percetakan pilihan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ada juga yang menilai sebagai indikasi masih buruknya manajemen pendidikan di Indonesia. Namun begitu, penundaan jadwal UN 2013 di 11 provinsi itu tentu membawa dampak.

Pertama, dampak psikologis atau moral. Siswa-siswa SMA, MA, SMK, dan Paket C yang sudah siap melaksanakan UN dengan berbagai kondisi dan konsekwensinya namun dengan pergeseran jadwal UN itu akan sangat mengganggu persiapan siswa peserta UN. Semangat mereka mengikuti UN bisa turun (down), membuat para siswa peserta UN makin pesimis bahkan stress. Kedua, bisa menimbulkan kecurangan atau kebocoran soal UN. Dikhawatirkan, ada kebocoran informasi dari provinsi yang sudah melaksanakan UN kepada provinsi yang belum melaksanakan UN. Atau, siswa-siswa di 11 provinsi yang diundur pelaksanaan UN akan bisa mengetahui materi ujian yang dihadapi. Dalam era teknologi informasi seperti sekarang, penyebaran materi ujian bukan perkara yang sulit.

Ketiga, membawa kerugian material yang tidak sedikit. Dengan adanya penundaan jadwal UN, ongkos yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pelaksanaan UN di 11 provinsi menjadi bertambah. Kondisi itu memungkinkan karena sejumlah guru pengawas yang sudah berada di lokasi ujian terpaksa menunggu lebih lama karena ujian nasional ditunda. Belum lagi, pendistribuan berkas soal dan jawaban itu membutuhkan waktu cepat setelah mengalami penundaan. Keempat, memberikan dampak sosiologis. Kepercayaan masyarakat akan menurun terhadap pemerintah selaku penyelenggara UN. Pemerintah dianggap gagal menyelenggarakan UN secara serentak di seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mereshuffle jabatan Mendikbud Mohammad Nuh.

Penundaan jadwal ujian di 11 Provinsi menjadi potret hitam pelakasaan UN 2013. Keinginan Kemendikbud untuk menyelenggarakan UN lebih baik tahun ini tak ubahnya bagai menutup lubang sampan bocor. Ditutup di tengah, bocor di samping begitu seterusnya. Banyak pihak mengingatkan bahwa UN jangan hanya sekadar menjadi proyek. Janganlah UN hanya dilihat sebagai kesempatan untuk mendapatkan “kick-back”, tetapi harus dijadikan sarana untuk bisa melihat kualitas anak didik kita dibandingkan dengan anak-anak dunia.

Dari Immanuel Kant (1960) hingga Count Leo Tolstoy (1967) menyiratkan bahwa sebagai sebuah proses rekayasa sosial, pendidikan haruslah terbebaskan dari praktek kontrol yang berlebihan seperti UN. UN sama sekali mengabaikan ragam talenta siswa yang kasatmata sangat banyak itu. Padahal seharusnya proses pendidikan lebih menghargai ragam pikiran anak-anak. 

Kemampuan dalam setiap diri siswa-siswa memiliki perbedaan dan keunikan-keunikan yang patut dihargai sekaligus dikembangkan oleh lembaga pendidikan. Artinya, UN tidak cukup menjadi alat legitimasi apakah siswa bisa lulus atau tidak. Jika mutu pendidikan hanya ditentukan melalui UN, lalu untuk apa proses pembelajaran dan pendidikan diselenggrakan? UN saat ini lebih berkaitan dengan dimensi kognitif atau akademik siswa. Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku peserta didik. Dalam prosesnya, perubahan perilaku membutuhkan banyak aspek penanganan, meliputi aspek kognitif, sikap (afektif), dan keterampilan gerak (psikomotorik). Sementara UN cenderung mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotorik.

Hingga kini, pemikiran dan tujuan yang melandasi kebijakan UN masih amat rancu. Penjelasan para birokrat pendidikan di Jakarta maupun daerah tentang UN tidak konsisten atau mencerminkan kekurangpahaman mengenai fungsi dan tujuan ujian, evaluasi, dan standardisasi. Jika UN dimaksudkan untuk mendapatkan pemetaan kondisi pendidikan nasional, mengapa harus semua siswa mengikutinya? Mengapa tidak menggunakan metode sampling agar lebih hemat? Dan untuk tujuan pemetaan, seharusnya nilai ujian tidak perlu diumumkan, apalagi sampai menjatuhkan mental siswa.

Jika UN digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, prinsip ujian test what you teach (ujilah apa yang Anda sudah ajarkan) jelas sudah dilanggar. Ketika kecemasan semakin menumpuk sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, pengajar bimbingan belajar, dan orangtua mencekoki siswa dengan soal-soal tes. Mau tidak mau, upaya penjejalan ini akan mengambil waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan untuk proses belajar-mengajar.

Keterkaitan antara pengajaran dan ujian dalam sistem pendidikan nasional juga tidak pernah diuji secara transparan di forum publik. Seharusnya soal-soal ujian yang sudah digunakan dibuka, paling tidak di forum-forum akademik, agar publik bisa menganalisis kesahihan dan keterandalannya serta analisis poin-poin soal. Ini penting mengingat disparitas mutu dan kemampuan menyerap antardaerah masih besar, analisis dan masukan dari berbagai pihak perlu dilakukan. Proses ini akan membuat birokrat pendidikan semakin tumbuh dalam kompetensi dan pengetahuan. Yang lebih penting, energi dan dana besar yang dihabiskan untuk mengukur output pendidikan selayaknya diimbangi peningkatan mutu layanan dan proses pendidikan. Berbagai variabel termasuk guru, kurikulum, sarana, dan prasarana harus mendapat perhatian besar sebelum pemerintah menuntut prestasi siswa.

Tugas pemerintah untuk menyempurnakan kebijakan pendidikan belum selesai. Tenggelam dalam persentase kelulusan tanpa mengkritisi kebijakan UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan setiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Sudah saatnya pemerintah menyusun suatu mekanisme ujian yang jauh lebih berorientasi ke siswa, bukan ke target-target muluk pemerintah. Membangun generasi yang cerdas dan berkualitas itu tidak seperti membalikkan telapak tangan.

*) Oleh Sutrisno
    Guru SMPN 1 Wonogiri dan Mahasiswa Pasca Sarjana UMS
**) Dimuat di Koran Tempo | Selasa
, 16 April 2013 

Kaji Ulang Ujian Nasional



PELAKSANAAN Ujian Nasional (UN) tahun 2013 ternoda oleh ketidak-siapan penyediaan soal dan distribusinya. Akibatnya, 11 provinsi mengalami penundaan UN dan masih terjadinya kecurangan. Sejujurnya kita khawatir UN telah disulap menjadi proyek. Anggaran UN 2013 yang awalnya Rp543,4 miliar membengkak menjadi Rp644,2 miliar. Padahal, peserta ujian berkurang dari 14 juta siswa menjadi 12 juta. 
Kita pun menyoal kembali pelaksanaan UN. Apakah pelaksanaan UN bukti penerapan standar yang baku atau hanya ingin mencapai target di atas kertas? Kalau ingin standar yang sama dan meningkatkan mutu pendidikan secara merata, harus ada pemberlakuan sistem pendidikan yang sama pula untuk seluruh sekolah di Indonesia, baik sekolah negeri maupun swasta. 

Yang menjadi soal dan mendapat sorotan tajam adalah tujuan UN itu sendiri. Selama beberapa pelaksanaan UN, tidak pernah terdengar ada hasil evaluasi secara jelas yang diberikan kepada pihak sekolah. Maka, tujuan UN sebagai dasar pemetaan tetap menjadi tanda tanya besar. 

Albert Hasibuan, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghentikan dahulu pelaksanaan UN. Hal ini terkait adanya putusan Mahkamah Agung (MA) agar pemerintah menghentikan dahulu pelaksanaan UN jika syarat-syarat pemerataan kualitas dan layanan pendidikan di semua sekolah belum terpenuhi (Kompas, 20/3/2012). 

Selama ini putusan MA yang melarang pelaksanaan UN diabaikan oleh pemerintah. Padahal, penundaan tersebut sebenarnya sangat sederhana, yakni stakeholder pendidikan menginginkan agar pemerintah tidak memiliki paradigma kerdil tentang pendidikan. 

Tapi, pemerintah tetap saja menyelenggarakan UN, meski sampai saat ini perlawanan terhadap pelaksanaannya belum berhenti. Sebagian guru dan siswa masih terus berjuang agar UN ditiadakan. Mereka menginginkan penentuan kelulusan siswa pada setiap jenjang pendidikan tetap dilakukan oleh sekolah, bukan Depdiknas lewat UN. 

Kebijakan pendidikan yang dijalankan pemerintah selama ini tidak dikaji secara radikal, holistik, dan filosofis. Tak heran jika pelaksanaan UN masih terjadi kekurangan, bahkan melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Maka itu, pelaksanaan UN harus ditinjau kembali. UN boleh dilaksanakan kalau ada standardisasi nasional. Jika tetap dilaksanakan, tidak adil bagi sekian ratus ribu siswa yang fasilitasnya tidak dipenuhi pemerintah. 

Selain itu, UN mengandung beberapa kelemahan. Pertama, evaluasi yang dilakukan sebatas mengukur capaian kognitif peserta didik, mengabaikan aspek afektif, dan psikomotorik. Dengan begitu, UN tidak mencerminkan evaluasi pendidikan. Sebab, pendidikan bukan hanya sarana untuk membuat peserta didik menjadi manusia berpengetahuan, tetapi juga memiliki keterampilan dan mental yang baik. UN tidak menjangkau evaluasi dua aspek tersebut. 

Kedua, formula UN dengan pembobotan 40 persen untuk nilai sekolah dan 60 persen untuk nilai UN belum berkeadilan. Mengapa hanya beberapa bidang studi, seperti: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika yang diuji UN? Padahal, banyak siswa yang pandai dan sukses di luar bidang studi yang di-UN-kan. 

Diabaikannya aspek kognitif dan afektif sendiri sudah menurunkan validitas UN. Apalagi aspek kognitif yang diukur hanya menyangkut beberapa bidang studi. Maka, hasil UN tidak mencerminkan sama sekali perkembangan para peserta didik selama bertahun-tahun belajar. 

Ketiga, pelaksanaan UN tidak cukup valid. Terbukti adanya soal/kunci yang bocor dan contek massal. Hal ini menampar dunia pendidikan kita, karena ternyata di lembaga pendidikan ada jaringan "tukang nyontek", bukannya menjadi sarana menanam dan memelihara nilai-nilai luhur. 

Maka jangan kaget kalau hasilnya manusia pintar, tetapi bermental manipulator. Adalah nista bila UN hanya membuat sistem pendidikan kita berorientasi kepada hasil kelulusan, tetapi mengabaikan kecerdasan, kejujuran, dan kerja keras. Kalau itu yang terjadi, sempurnalah sudah kebobrokan negeri ini. 

Keempat, UN mengabaikan peran pendidik dan kewenangan sekolah. Dalam Pasal 58 ayat (1) UU No 20/3003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik (guru). Pendidik secara keseluruhan dan berkesinambungan mengetahui proses belajar-mengajar. 

UN 2013 ini mestinya menjadi titik pijak untuk mengkaji ulang secara komprehensif pelaksanaan UN yang sentralistik itu. Evaluasi sudah diisyaratkan Wapres Boediono saat melakukan kunjungan silaturahmi ke SMA 1 Palangkaraya, Kalimantan Tengah (detik.com, 20/4/2013). Dalam pendidikan, guru menjadi titik sentral karena guru setiap hari mengetahui dan mengikuti perkembangan peserta didik. Dengan begitu, nilai seorang anak didik, lulus atau tidaknya seorang anak didik, sepenuhnya berada di tangan guru, bukan diambil alih oleh negara. 

Menarik pula gagasan pelaksanaan desentralisasi UN alias ujian lokal. Desentralisasi UN merupakan manifestasi dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang menghargai kemajemukan daerah dengan kualitas SDM, karakter, dan budaya yang berbeda. Desentralisasi UN juga menjadi wahana memetakan segala masalah dan kualitas pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi UN layak diterapkan tanpa harus meninggalkan kualitas. 

Dari segi yuridis, penggandaan naskah UN di tingkat provinsi sudah sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 19/2010 dan Peraturan Pemerintah No 23/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Jika dari payung hukum sudah aman, maka yang perlu dikaji lebih detail adalah mekanisme teknis dan prosedur-prosedur di lapangan supaya desentraliasi UN berjalan sempurna dengan hasil maksimal. 

Kita juga menyambut baik gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, untuk mengakhiri pro-kontra tentang UN dengan menggelar Konvensi Nasional Pendidikan, September 2013 datang. Salah satunya, membahas kebijakan UN. Dialog melalui Konvensi Nasional Pendidikan akan bermakna selama tidak dijadikan sebagai forum seremonial untuk melegitimasi atau menjustifikasi kebijakan yang telah diambil pemerintah.

 *) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 11 May 2013

*) Oleh Sutrisno
    Guru dan Mahasiswa S2 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

Kunci UN, Jujur dan Kredibel



PERHELATAN nasional berupa ujian nasional (UN) kembali diselenggarakan. Untuk tingkat SMA/MA/SMK digelar 16-18 April, SMP/MTs/SMPLB dilaksanakan 22-25 April, dan SD/MI/SDLB, 6-8 Mei 2012. Banyak pihak berharap pelaksanaan UN 2013 ini tingkat kelulusan peserta didik meningkat. Siswa juga diharapkan mampu meraih nilai memuaskan. 

Saat ini, UN tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Salah satu unsur kelulusan didapat dari nilai gabungan. Nilai sekolah ditambah nilai UN akan menjadi nilai gabungan. Penentuan nilai sekolah siswa didapatkan dari nilai rapor semester satu hingga semester empat plus nilai ujian akhir sekolah (UAS). Hasil rata-rata nilai gabungan nanti tidak boleh kurang dari 5,5. Sedangkan pembobotan nilai UN dan UAS adalah 60 persen untuk nilai UN dan 40 persen dari UAS (Permendikbud No 3 Tahun 2013). 

Memang, kelulusan seharusnya ditentukan dari hasil penilaian komprehensif. Ini langkah positif dan cukup mengakomodasi kepentingan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Sebelumnya, sekolah sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan kelulusan. Padahal, sekolah jauh lebih dahulu tahu kapasitas siswa dan mengetahui persis perkembangan proses belajar-mengajar dalam keseharian. 

Pertanyaannya, apakah formula kelulusan UN tersebut sudah memuaskan semua pihak? Khususnya guru dan siswa selaku subyek di lapangan? Saya pribadi sebagai guru yang setiap hari berkecimpung dengan siswa, keputusan ini setidaknya cukup menenteramkan. Paling tidak, meredam fobia UN yang selama ini menakutkan siswa.
Namun demikian, meski pemerintah menegaskan UN bukan menjadi faktor penentu kelulusan, namun tetap saja formula kelulusan UN dapat memberatkan siswa. Pertama, terkait rumus perhitungan nilai gabungan, yakni = (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Misalnya perhitungannya sebagai berikut: (0,6.4) + (0,4.8) = 5,6.
Jika diasumsikan nilai UN 4 (jatuh), maka seorang siswa harus memperoleh minimal bobot nilai 8 untuk nilai sekolah agar bisa lulus dari jenjang satuan pendidikan. Nah, nilai 8 inilah yang rasanya cukup berat diraih siswa. Apalagi nilai sekolah merupakan rerata dari nilai-nilai rapor di semester 3-5 bagi tingkat SMA/MA/SMK untuk tiap mata pelajaran UN. 

Kedua, berjalin-kelindannya berbagai masalah yang menyertai kelulusan (ketidaklulusan) siswa dikhawatirkan membuat sekolah tertekan. Yang paling dirisaukan pihak sekolah adalah besaran ketidaklulusan akan berpengaruh signifikan terhadap kepercayaan masyarakat. Padahal kepercayaan masyarakat merupakan modal utama bagi eksistensi sebuah sekolah. Dalam situasi demikian terbuka celah yang lebar bagi sokalah untuk "memanipulasi" olahan nilai sekolah sedemikian rupa, sehingga peserta didik yang mestinya tidak lulus kemudian diluluskan dengan "pertolongan" olahan sekolah yang 40 persen itu. 

Kita sepakat dengan hasil survei nasional, UN tetap diperlukan terutama untuk mendorong siswa, guru, dan kepala sekolah bekerja keras meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, capaian itu tidak berarti tanpa kejujuran para pemangu kepentingan. UN bersih lebih bermakna dan bukan pencapaian hasil belajar. Berapa pun kenaikan standar kelulusan tidak akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan kalau pelaksanaannya tidak jujur dan capaiannya hanya semu. 

Pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya menunjukkan bahwa masih banyak terjadi kecurangan dan penyimpangan seperti: kebocoran soal UN, perjokian, dan jual beli jawaban UN. Yang ironis, ketidakjujuran UN melibatkan sekolah, guru, kepala sekolah, dan pejabat daerah. Masalah prestise dan reputasi yang terancam menjadi sumber persoalan dari "ketidakberdayaan" para guru dan sekolah mempertahankan kejujuran tadi. 

Dalam banyak kasus pelanggaran UN, bukan pihak luar yang melakukan pelanggaran, namun justru pihak sekolah, yaitu mereka yang berasal dari dalam. Ironisnya, para pendidik itu sendirilah yang menciptakan UN penuh sandiwara. Pejabat daerah pun memiliki kepentingan dengan pencitraan nama baik daerahnya, sehingga ketidakjujuran ini seringkali "diamini" oleh pejabat daerah tersebut. 

Memang, sungguh ironis di negeri ini. Memilih jalan kebenaran lebih besar risikonya dibanding yang memilih jalan keliru, yang justru relatif lebih aman. Tujuan baik penyelenggaraan UN yang diharapkan pemerintah sama sekali tidak tercapai. Pemetaan pendidikan yang akan ditunjukkan oleh hasil UN sama sekali tidak memenuhi unsur validitas dan reliabilitas. 

Keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan dengan angka statistik keberhasilan UN adalah semu belaka. Pelaksanaan UN justru hanya menciptakan generasi yang selalu mengharapkan bantuan orang lain. Sebagian siswa pun telah mengetahui, ketika ujian berlangsung, mereka akan "ditolong" pihak sekolah. Maka, bukan tidak mungkin hal ini lambat laun akan menjadi rahasia umum di kalangan siswa yang akhirnya mematikan motivasi belajar siswa. 

Seketat apa pun pengawasan dan pengamanannya, bukan jaminan UN jujur. Kejujuran hanya akan terwujud apabila semua yang terlibat menyadari hakikat ujian ini, sehingga beriktikad baik untuk menjaga amanah itu. Masa depan pembangunan bangsa ini akan tergantung pada sumberdaya manusia berkualitas yang dihasilkan dari proses pendidikan yang cerdas dan jujur. 

Tentu kita lebih memilih orang-orang yang "setengah cerdas tetapi jujur" ketimbang "cerdas tetapi tidak jujur". Harus kita dukung UN yang berformula kejujuran, bukan prestasi tinggi yang diraih dengan kecurangan. UN berformula kejujuran harus menjadi tanggung jawab bersama demi sukses UN yang berkualitas. 

Hemat saya, kunci pelaksanaan UN yang baik, jujur, dan kredibel adalah: pertama, dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Karena, jika berkasnya bocor, maka kredibilitas UN sudah berkurang, bahkan hilang. Kedua, dari sisi ketepatan distribusi, harus tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat bahan yang mau diuji. Ketiga, pada hari pelaksanaan harus dijamin kelancarannya. Jangan sampai soal sudah ada semua tapi soal ujian yang dibagikan salah. 

Keempat, dalam sistem evaluasi harus dipastikan agar nilai rapor bisa menjamin bahwa nilai itu mencerminkan kemampuan sang anak. Nilai rapor jangan mencekungkan atau mencembungkan nilai anak yang sebenarnya. Kelima, peserta ujian harus yakin dengan kemampuannya sendiri yang diikuti upaya keras, baik sebelum dan saat pelakasanan UN. 


*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Senin, 15 Apr 2013
* Oleh Sutrisno
   Guru dan Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)