NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Senin, 19 Oktober 2009

Mencari Menteri Pilihan

Dimuat Harian JOGLOSEMAR / Rabu, 14 Oktober 2009

Mencari Menteri Pilihan
Oleh Sutrisno

Pekan depan, para kandidat menteri mulai dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengikuti proses fit and proper test. Banyak orang yang merasa sebagai tokoh,ikut berjasa,dan dekat dengan lingkaran Istana sudah pasti memiliki harapan besar namanya masuk daftar yang akan dipanggil Presiden. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah yang menjadi tolok ukur seseorang bisa dipilih menjadi menteri, apakah karena ketokohannya, kedekatannya dengan lingkaran Istana, pernah merasa berjasa dengan Presiden dan lingkungannya? Kalau hal itu dijadikan indikator yang sangat dominan, kita merasa khawatir bahwa tim kabinet lima tahun mendatang tidak akan bisa memenuhi harapan yang lebih baik.

Namun ketika bukan hal itu yang dijadikan indikator,bisa dibayangkan berapa banyak mereka yang merasa menjadi tokoh, pernah berjasa, dan merasa dekat dengan lingkaran Istana menjadi kecewa ketika Presiden benar-benar tidak memasukkan namanya ke dalam susunan kabinet lima tahun mendatang. Memang, Presiden SBY akan menghadapi banyak dilema, di satu sisi harus bisa menyenangkan orang-orang dekatnya, termasuk mereka yang pernah merasa berjasa, tapi di sisi lain Presiden tidak bisa bekerja dengan perencanaan yang baik untuk Indonesia ke depan kalau menteri-menterinya tidak dipilih berdasarkan pertimbangan yang tepat.

Bagi SBY, itu sepertinya juga keharusan sebab merupakan periode kedua atau terakhir bagi beliau memimpin negeri ini. Dengan demikian, SBY dapat diyakini berusaha keras membentuk kabinet yang mapan, lebih baik dibanding kabinet saat ini. Perkiraan itu jelas sangat menggembirakan karena jika itu yang terjadi, dipastikan kinerja pemerintah sepanjang 2009-2014 berjalan lebih baik dan dapat membahwa kemajuan bagi bangsa dan negara.

Sejauh ini, SBY telah memperoleh masukan dari banyak pihak mengenai siapa yang layak menjadi pembantunya dalam mengarungi pemerintahan periode 2009-2014. Tak kurang 100 nama sudah masuk di kantongnya, dan dari sekian jumlah tersebut, kemungkinan besar akan dipilih 34 menteri sesuai dengan undang-undang.

Para calon menteri ini nantinya akan ditelepon dan kemudian diminta datang ke rumah SBY di Cikeas. Mereka akan ditanyai sendiri oleh SBY mengenai komitmen dan integritas dalam masalah pencegahan korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran, dan lain-lain sesuai standar internasional. SBY memiliki hak prerogatif untuk memilih siapa menteri yang akan mendampinginya bersama wakil presiden terpilih, Boediono. Karena itu pula, SBY harus memilih menteri yang profesional dan memiliki integritas yang tinggi. Mereka juga mau bekerja keras dan berkorban untuk bangsa dan rakyat.

Idealnya, kabinet kerja 2009-2014 itu terdiri atas 100% kaum profesional. Namun, walaupun akhirnya kabinet kerja itu harus bercampur antara kaum profesional dan para politisi (baca: kader partai politik), menurut para pakar, komposisi yang ideal adalah 70% untuk kaum profesional dan 30% untuk para politisi.

Tentu saja ini untuk menghindari terjadinya vested interest yang bakal bertebaran jika kabinet diisi kader-kader politik. Padahal ada terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan lima tahun ke depan. SBY diharapkan berani melakukan langkah terobosan ini, dan beberapa pihak yakin SBY mampu melakukannya karena melihat langkahnya ketika memilih Boediono sebagai calon wakilnya.

Pembentukan kabinet dari kalangan profesional (zaken kabinet) akan lebih memudahkan presiden terpilih membentuk kerja sama tim dan membangun loyalitas yang solid. Dengan kemenangan satu putaran dan perolehan suara mayoritas, memungkinkan pasangan SBY-Boediono memiliki legitimasi cukup untuk merekrut kabinet yang betul-betul kapabel. Berkaca pada pengalaman pemerintahan lima tahun ini, komposisi kabinet dari kalangan elite partai politik justru menyulitkan arah kebijakan yang ingin direalisasikan. Salah satu penyebabnya karena kelemahan di sisi koordinasi. Bisa jadi karena menteri-menteri dari partai lebih loyal ke partainya daripada mementingkan team work.

Dalam membentuk pemerintahan yang kuat, pemerintah memerlukan dukungan dari legislatif atau DPR. Dalam relasi politik dengan parlemen, jelas bahwa politik SBY terjamin aman. Posisi Ketua DPR yang dipegang Partai Demokrat adalah simbol dari jaminan itu. Tetapi lebih dari itu, jaminan stabilitas Pemerintahan SBY akan dipastikan oleh distribusi kursi kabinet mengikuti tuntutan partai-partai pendukung dalam pemilu lalu. Penjatahan kursi kabinet pada tiga atau empat partai besar pendukung koalisi sudah pasti akan dilakukan SBY, karena hanya itu sesungguhnya jaminan adanya stabilitas pemerintahannya nanti.

Diperkirakan SBY akan memegang rumus 3C. 3 C tersebut adalah cluster, competencies, dan chemistry. Dengan cluster, SBY akan mempertimbangkan calon menterinya dalam perhitungan politik, kewilayahan, gender, agama, dan etnis. Competencies mempertimbangkan apakah calon menteri masuk kategori akademisi, praktisi, pengusaha, birokrat atau militer. Dan terakhir chemistry, yakni faktor yang mempertimbangkan jender, profesi, etnis, usia, agama, dan representasi daerah.

Kita tunggu saja apa hasil wawancara SBY dengan para kandidat menteri. Kita harap semua sesuai nilai-nilai ideal yang sering dilontarkan SBY di berbagai kesempatan. Kita juga tidak ingin melihat adanya kekuatan politik yang “mutung” karena hanya dapat satu atau tidak dapat sama sekali kursi di kabinet, lalu menyatakan diri menjadi partai oposisi.

Angan-angan kita ialah para anggota kabinet nanti adalah orang-orang terpilih yang memiliki visi dan kerja keras membangun bangsa, bukan visi untuk membangun diri, keluarga, atau kelompoknya semata. Kita harapkan dari kabinet Presiden SBY bukan sekadar berpijak pada kepintarannya, tetapi unsur-unsur mau bekerja keras, mempunyai visi membangun Indonesia lebih baik dan sejahtera harus lebih menonjol. Kita meyakini, ketika Presiden SBY menempatkan lebih banyak lagi orang-orang pintar yang tulus, punya semangat kerja keras, serta memiliki visi membangun Indonesia, harapan kita menatap Indonesia ke depan akan lebih cerah. Semoga Presiden SBY tidak salah pilih.

Senin, 12 Oktober 2009

from Teaching Village

I’ll Show You Mine if You Show Me Yours (by Steven Herder)

by StevenHerder

Steve in class 2 copy

Committed to learning

After 20 years in the EFL classroom, I still learn new things all the time. Certainly, here in Japan, the students are completely different than they were back in 1989; in those days, they all sat up straight, had their hair braided back and always made an effort (or pretended to, anyways) whether they liked English or not. These days, things are a little more… normal, for want of a better word. The students make me work harder to get their attention, and they don’t try, if they are not interested in my lesson. I’ve had to grow as a teacher and adapt my lessons over the years. Here is a glimpse of my context, my approach and my challenges with my junior high school students at this particular point in my career:

Stairs

My context

I teach in an all girls, Catholic, junior and senior high school in Osaka, Japan. I’m in my 16th year in this school. I currently teach all grades 7 – 12 (called Chu 1, 2, 3 and Ko I, II, III). There are only two Native English-speaking teachers in the school and we have earned complete autonomy to decide and implement our own syllabus and curriculum. I teach both Oral Communication and Writing II & III. Our students are generally “nice” girls from “decent” middle-class families. That is not to say that we don’t have our share of puberty, friendship angst and other typical teenage syndromes. Additionally, we are constantly battling against a very busy school calendar where English competes with something pretty exciting almost every month.

Seibo

What I’ve learned after 20 years (finally…)

Here are 10 things that I’m quite sure of – in my classes with my students:

  1. They want to get to know me and are willing to share things about themselves IF I can become a meaningful person in their lives.
  2. They love to work in pairs or small groups because it is safer, less stressful and more social.
  3. I need to ask myself 3 questions when I plan what to bring into class:
    Is it interesting enough to cause an emotional connection in their brains?
    Does it lead to giving opinions, sharing ideas, or exchanging information between us?
    Can they succeed at it and add another layer to their small, but growing, confidence?
  4. They need to trust me before they will learn from me, and therefore I must spend as long as it takes to make a connection with them.
  5. Knowing their names is not only helpful, but is invaluable. For both praise and for discipline, nothing works better than a name at the beginning or end of a statement to a student.
  6. Praising effort is the only way to go. Acknowledging results and outcomes is great, but highlighting a student’s effort leads to further efforts by that student and by other people.
  7. Motivation is king: there is quite simply nothing more important in my EFL classroom.
  8. Classroom interaction is where I have the biggest chance to make gains: learning to improve how I interact with students, during lessons, is the key to becoming the best teacher I can be. Planning lessons and evaluating lessons are both important, but pale in comparison to the return on investment that comes from improving my questioning, feedback, correction, listening, discussing and eliciting skills.
  9. A balanced 4-skills approach is vital to succeeding in an EFL context. Without a balance of input (reading and listening) and output (writing and speaking), students invariably lose interest in studying English, or worse case scenario, come to hate English.
  10. Junior high school students need a lot more input practice than output practice. Piling on the reading and listening really adds confidence to their young minds. Of course, there are outgoing types in every class who need and thrive on output, but that can be easily accommodated.

What I do specifically in my classes

I focus on specific things for each grade, starting with a motto:

Chu1

“Everybody – Think BIG – Maybe you will be an English teacher, a translator or a flight attendant. Maybe you will live in Canada or get married to a foreigner. Many of your seniors still use English today (gesturing ferociously and using Japanese when my gesturing only scares them)”.

IMG_0171 copy

They all learn that I want them to focus on 3 things in their first year: 1) to learn to write English quickly, 2) to learn to read English, and, 3) to learn to talk a little about themselves. Everything I do in the first year is somehow connected to one of these goals. For example, last week they had to introduce a classmate in front of another class. They asked questions to their partner, wrote about their partner, memorized it by practicing it, then performed it in front of another class.

Chu2


“Some girls give up on English this year. Chu 1 is very easy. Now we start to learn the past tense this year, and some students don’t make an effort. IF you try, you CAN do it. At the end of Chu 2 we have two kinds of English students: the girls who give up and the “Yes, we can” girls (gesturing ferociously and using Japanese when my gesturing only confuses them).

My classroom

In the second year, I really focus on learning to manipulate language between tenses, especially the past tense. There are countless opportunities to talk about their weekends, school events, family outings, etc. I also tell many stories about daily happenings with my two young children (son, 8 and daughter 6), then elicit to check their comprehension. Last week, they read some writing by their seniors – the grade 12 girls (Ko III) – who wrote “100 things about me”. It is ALWAYS exciting and meaningful to show students their seniors work. Then, in pairs, they had to write 50 things each about themselves. When they finish, they’ll have to present their list in front of small groups of friends.

Chu3

Consolidation is a guiding principle in Chu 3. I expect them to be able to put more together in their final year of junior high school. I don’t introduce very much new material, but I do expect them to be successful with longer, denser material. Last week, they were reading graded readers in pairs (Cengage – Foundations Reading Library Level 1 & 2) and then retelling the stories to friends in Japanese (focusing on meaning rather than straight translation). In another class, they were translating “Frog and Toad” stories (A. Lobel) so their juniors (Chu 1) could enjoy them. For a recent final test, they had to design a poster, “Things that make me happy” with at least 150 words of text. The poster stays on the wall of my classroom for a year!

steven cherry blossoms

I hope it is easy to see that I want my students to use English to enjoy interacting with me and with each other. I want them to clearly understand that I care about them and expect them to improve and ultimately succeed at English. I’m willing to share my world with them and hope to learn more about their lives as well. As for challenges, I still want to learn how to get the most out of students who are pulled in so many different directions. I also hope to see the day that all teachers in Japan take a more balanced approach to teaching English – for the sake of the students, and in order to get more reasonable results that we can all be prouder of as teachers and as learners.

Herder SSteven has an MA TEFL from Birmingham University. He believes that being a teacher means a never-ending commitment to learning. “First, we must connect with our students, then expect them to grow in some way; the rest we just work out day by day.” He is an avid collaborator and is always looking for new ways to grow.

You can learn more about his TOL and TOP on his website and his blog.

Jumat, 09 Oktober 2009

Hidup Bersama Gempa

Harian Sore WAWASAN / Thursday, 08 October 2009

Hidup Bersama Gempa

Oleh Sutrisno

BENCANA gempa kembali datang. Kali ini menerpa Padang, Sumatera Barat, Rabu (30/9) sore, berkekuatan 7,6 Skala Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis (1/10) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup.
Sejatinya, Indonesia tidak akan pernah lepas dari ancaman bencana gempa. Sepanjang wilayah Indonesia, mulai dari pantai barat di Sumatra, memanjang ke pantai selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, kemudian meliuk ke atas menuju Halmahera, Sulawesi, dan Papua, semua rawan gempa. Relatif hanya Kalimantan yang steril terhadap gempa. Kondisi kegempaan atau seismisitas dari kepulauan Indonesia mencapai 10 persen dari total seismisitas yang ada di dunia (Ritsema, 1954). Sebagian besar episenter terdapat pada sabuk struktural yang berumur muda di antara continental shelves Asia Tenggara dan Australia. Sabuk tersebut mengelilingi busur Sumatera-Jawa-Banda dan memanjang sampai ke utara melewati Sulawesi menuju Filipina.
Dengan begitu, kita hidup bersama gempa. Gempa juga datang tanpa pemberitahuan, bisa ketika kita tertidur lelap, bisa ketika kita menjalankan aktivitas sehari-hari. Sejauh ini belum ada alat yang mampu meramalkan terjadinya gempa. Hanya insting binatang yang bisa merasakan, tetapi itu pun hanya beberapa saat sebelum terjadi gempa.
Penelitian tentang prediksi gempa bumi telah lama menjadi kajian ahli yang menggeluti bidang geologi dan geofisika. Tapi belum ada hasil atau metode yang dapat dijadikan acuan dalam memprediksi kapan, besar dan tempat terjadinya gempa bumi. Beberapa ahli dari Yunani pernah memperkenalkan satu metode untuk memprediksi terjadinya gempa bumi, tetapi metode ini masih sangat jauh dari kenyataan yang terjadi.
Bahkan, di Jepang dengan semua instrumen sangat cangkih yang dimiliki, hingga sekarang belum tepat dalam memprediksi datangnya gempa bumi. Jepang pernah mengalami gempa bumi cukup dahsyat pada 1923 yang meluluhlantakkan Kota Tokyo. Setelah peristiwa itu, para ahli berpendapat gempa yang sama akan terjadi lagi 50-60 tahun kemudian. Memang gempa yang ’’dinanti” tapi tidak diharapkan itu akhirnya datang juga. Tetapi tidak di Tokyo, melainkan meluluhlantakkan Kota Kobe pada 1995. Atau, 72 tahun setelah gempa yang terjadi di Kota Tokyo.
Setiap terjadi bancana alam, perhatian banyak tertuju pada upaya tanggap darurat, misalnya upaya evakuasi korban, distribusi bantuan, penanganan pengungsi, dan lain sebagainya. Setelah itu, persoalan rehabilitasi, rekonstruksi dan mitigasi, dan membangunan kesiagaan kadang sering luput dari perhatian, bahkan menjadi terlupakan jika fase tanggap darurat terlewati. Hal ini terjadi karena perhatian sudah tertuju kepada persoalan bancana alam lainnya. Oleh karena itu, setiap kita berhadapan dengan bencana alam yang bersifat rutin, seoalah-olah kita berhadapan dengan hal yang baru dan ada kecenderungan kita tidak siap menghadapinya dengan tindakan dan upaya yang tepat dan cepat.
Menyadari akan hal ini, seharusnya penanggulangan dan pananganan bencana alam dapat dijadikan pekerjaan rutin (bukan dadakan), terlebih-lebih untuk bencana alam yang dapat diprediksi seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan. Agenda rutin tersebut harus didukung dengan dana cadangan yang memadai, kebanggaan yang mapan dengan sistem jaringan kerja yang kompak serta dengan mekansime peran serta masyarakat yang terbina.
Sebagai wilayah yang rawan bencana alam kebumian, tentunya, Indonesia perlu memiliki manajemen mitigasi bencana gempa yang andal dan terpadu. Hal ini sangat urgen dan sangat berpengaruh dalam upaya memperkecil dampak bencana yang dapat ditimbulkan. Mitigasi bencana gempa bumi secara struktural dapat dilakukan antara lain penataan ruang dengan memerhatikan kawasan rawan bencana gempa bumi. Membangun bangunan tahan goncangan gempa bumi utamanya bangunan vital dan strategis atau bangunan yang mengundang konsentrasi banyak manusia serta evaluasi konstruksi bangunan vital dan strategis di kawasan rawan bencana gempa bumi.
Melihat Jepang yang juga rawan gempa seperti kita, mungkin bisa dilakukan dalam niat berkaca. Pencakar langit di kota megapolitan Tokyo, semua dirancang tahan goyangan dalam tingkat tertentu. Deretan bangunan selalu diberi jeda antara satu dan yang lain. Hal ini untuk memberi ruang gerak bila bumi bergoyang setiap saat, dan bangunan-bangunan itu tetap tidak kehilangan elastisitasnya.
Tak kalah pentingnya, seperti juga Jepang, Indonesia perlu memiliki sebuah sistem peringatan dini (early warning system) yang canggih dan andal, agar tidak terjadi lagi kasus gempa yang memakan korban jiwa. Di Jepang, ada Jasa Peringatan Tsunami yang dibentuk pada tahun 1952 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA).
Enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi. Kalau sebuah gempa bumi terlihat mempunyai potensi menimbulkan tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan peringatan. Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio dan televisi, dan bila perlu peringatan evakuasi akan diberikan. Target JMA adalah memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami untuk melakukan evakuasi.
Pemerintah lokal, pemerintah pusat, dan organisasi bantuan juga mendapat peringatan lewat saluran khusus agar mereka bisa cepat memberi tanggapan. Jaringan JMA ini begitu canggih sehingga mampu meramal ketinggian, kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang. Dasar dari sistem peringatan mutakhir ini adalah izin pendirian bangunan yang ketat sebagai perlindungan dari tsunami dan gempa bumi. Selain itu terdapat perencanaan anti bencana alam yang bagus, sehingga korban bencana alam di Jepang relatif kecil.
Sedangkan mitigasi secara nonstruktural antara lain penentuan SOP, sosialisasi, pendidikan, tim penyelamat, relawan, dan pelatihan penanggulangan bencana gempa bumi melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Saya sangat sependapat dengan Fadli Syamsudin, seorang peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam tulisannya di Majalan Inovasi (edisi maret 2005) telah jauh hari mengusulkan kepada pemerintah agar dibentuk badan khusus yang mengurusi mitigasi bencana (ia menyebutnya ’’Badan Mitigasi Bencana Nasional”). Ia menegaskan bahwa solusi sektoral dalam program mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah selama ini tidak pernah menuntaskan akar permasalahan yang ada setiap kali terjadi bencana. Oleh Karena itu, kebutuhan sebuah Badan Mitigasi Bencana Nasional (BMBN) dalam tataran operasional Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) untuk melaksanakan berbagai agenda penyelamatan dan keamanan masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak saat ini.
Kita hidup di daerah yang sangat rawan bencana alam, khususnya gempa. Tetapi, itu tidak menjadikan kita harus merasa bahwa kita telah ditimpakan azab oleh sang Maha Pencipta, melainkan dinamika untuk mencari keseimbangan. Dan yang terpenting, mari kita jadikan kondisi ini sebagai titik awal bagi kita untuk selalu mengingat-Nya di manapun kita berada.

Sutrisno
Pendidik dan pemerhati
masalah lingkungan,