Pengenalan Lingkungan Sekolah
Terkadang siswa senior
memandang rendah siswa baru, merasa sok kuasa, gila hormat, dan memiliki misi
balas dendam.
Kolom | Solopos | 02 August
2022 06:07:53 WIB
Penulis : Sutrisno | Editor: Adib Muttaqin Asfar
Awal tahun pelajaran baru 2022/2023 semestinya
menjadi yang menyenangkan bagi setiap pelajar, apalagi bagi siswa baru. Menurut
Kalender Pendidikan Nasional, pelaksanaan pembelajaran dimulai pada 13 Juli
2022.
Siswa baru tentu membutuhkan pengenalan lingkungan
sekolah (PLS) awal supaya mereka bisa beradaptasi dan mengenal lingkungan
sekolah (akademis). Masa-masa inilah yang populer dengan sebutan masa orientasi
siswa (MOS) atau biasa disebut dengan ospek di perguruan tinggi. Sekarang,
namanya menjadi masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).
Namun, seringkali PLS menjadi momok yang
menakutkan bagi siswa baru dan orang tua mereka. Sebab, dalam ajang tersebut
biasanya mereka diminta untuk membawa barang-barang aneh dan sulit.
Barang-barang aneh tersebut kemudian wajib dikenakan sebagai aksesoris
tampilan. Mereka juga disuruh melaksanakan tugas tertentu yang bahkan tak ada
hubungannya dengan urusan akademis.
Bahkan, beberapa kali sempat terjadi kekerasan
hingga berujung maut di ajang tahunan tersebut. Bukti perpeloncoan membawa
korban jiwa sudah dialami beberapa sekolah.
Pandemi
Covid-19 bukanlah penghalang untuk mewujudkan tujuan PLS. Karena bagaimana pun
pendidikan tidak hanya bagaimana menghadirkan siswa ke sekolah. Lebih dari itu,
pendidikan adalah soal sejauh mana sekolah mampu menghadirkan pengalaman dan
pengetahuan dalam rangka memperluas cakrawala interaksi siswa-sekolah, wawasan
siswa, dan menumbuhkan budaya akademis.
PLS diselenggarakan sebagai pengganti MOS. Adapun
dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbud) No. 18/2016
tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) Bagi Siswa Baru yang menggantikan
Permendikbud No. 55/2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru. Dalam pelaksanaannya,
PLS sekolah perlu menggelar kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk
mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. PLS adalah kegiatan
pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana, dan prasarana sekolah,
cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur
sekolah.
Berpedoman pada Pasal 2 ayat (2) Permendikbud No.
18/2016, pelaksanaan kegiatan PLS bagi siswa baru adalah terdiri atas beberapa
hal. Di antaranya mengenali potensi diri siswa baru; membantu siswa baru
beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya (antara lain terhadap
aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah); dan menumbuhkan
motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru.
Selain itu, mengembangkan interaksi positif
antarsiswa dan warga sekolah lainnya; serta menumbuhkan perilaku positif antara
lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati
keanekaragaman dan persatuan, kedisiplinan, hidup bersih dan sehat untuk
mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat
gotong royong.
Kebijakan tersebut membawa angin segar pelaksanaan
PLS. Sebab, tidak ada celah bagi para kakak kelas atau senior melakukan aksi
balas dendam, perpeloncoan, dan perundungan dalam PLS. Selain itu, permendikbud
tersebut memberikan kesempatan bagi sekolah untuk merancang program PLS melalui
kegiatan pilihan yang disesuaikan dengan visi-misi sekolah, kebutuhan,
kebiasaan, manajemen, dan prosedur masing-masing sekolah. Bila dilanggar, sekolah
bisa dikenai sanksi berupa penurunan level akreditasi dan dihentikannya
bantuan. Bentuk sanksi lainnya adalah sekolah tersebut bisa digabung,
direlokasi, atau bahkan ditutup.
Siswa baru memang perlu menjalani orientasi agar
mengenal cara belajar dan kultur akademis di sekolah. Mereka perlu mengetahui
cara berinteraksi dengan kakak kelas, guru, karyawan, mencari literatur di
perpustakaan, atau mengenal organisasi yang ada di sekolah. Hanya, pengenalan
itu mestinya dilakukan dengan cara cerdas dan lewat arahan jelas dari sekolah.
Siswa baru, misalnya, bisa diminta ke lapangan
mengenal lingkungan dan komunitas sekolah, infrastruktur sekolah, berdiskusi,
berdialog, dan mencari strategi belajar. Sungguh berbahaya jika kegiatan PLS
diserahkan sepenuhnya kepada siswa senior. Terkadang siswa senior memandang
rendah siswa baru, merasa sok kuasa, gila hormat, dan memiliki misi balas
dendam. Jika ini masih jadi budaya di kalangan siswa, PLS berpotensi diwarnai
kekerasan fisik dan berujung maut.
Humanis
Saatnya menerapkan PLS dengan edukatif dan
humanis. Driyarkara (1980) menguraikan pendidikan merupakan homonisasi dan
humanisasi. Dengan kata lain, pendidikan berarti menjadi proses menjadi manusia
yang manusiawi. Drost (1998:2) menegaskan visi yang sama dengan Driyarkara,
yaitu memanusiakan manusia sebagai inti pendidikan. Proses memanusiakan manusia
terjadi demi kemandirian si individu bersangkutan, tetapi juga “demi masyarakat
karena manusia itu adalah manusia demi manusia-manusia lain”.
Oleh karena itu, pihak sekolah (kepala sekolah,
guru, dan tenaga kependidikan) harus punya kecerdasan dan program dalam
kegiatan PLS supaya peserta didik baru dapat mencapai kesuksesan dalam belajar.
Pertama, PLS harus didesain sebaik mungkin guna melahirkan siswa yang berkualitas.
Seluruh kegiatan PLS harus diorientasikan untuk memperkenalkan siswa baru akan
hakikat, fungsi, dan tanggungjawabnya pelajar yang seluruh sikap dan
perbuatannya berpijak pada moral-etika dan hukum yang benar. Selain itu,
sekolah perlu mendesain agenda program yang lebih menguatkan eksistensi diri
sebagai seorang pelajar.
PLS jangan menjadi ajang balas dendam,
penggencetan, perpeloncoan, dan transfer budaya kekerasan. PLS harus humanis,
konstruktif, berkarakter, dan bervisi pendidikan. PLS semestinya mampu
mengawali penyemaian pendidikan karakter seperti menjunjung tinggi kejujuran,
moralitas, etika, tata krama, sopan santun, kerja sama, gotong-royong, dan
tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebutlah yang ke depannya menjadi
modal pembentukan generasi penerus bangsa yang beriman dan berilmu. Kondisi
yang lebih ideal adalah saat siswa baru mengambil peran penting dalam
memberikan solusi alternatif terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi
masyarakat dan bangsa.
Kedua, kegiatan PLS harus benar-benar diawasi
secara ketat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dengan
demikian, seluruh kegiatan bisa terarah dengan baik serta bebas dari kekerasan
fisik, mental, dan seksual. Pasal 5 ayat (1) huruf a permendikbud tersebut
menyatakan bahwa hanya guru yang berhak merencanakan dan menyelenggarakan PLS.
Di sinilah peran penting guru dalam memformulasikan kegiatan PLS, terutama
memberikan motivasi, pijakan, dan strategi belajar kepada siswa baru agar
tujuan pendidikan dapat tercapai. Semoga kegiatan PLS ini menjadi wahana
membentuk generasi emas Indonesia.
Esai ini ditulis oleh Sutrisno, Guru SMP Negeri 1
Wonogiri.
Artikel ini dimuat di Harian Solopos tanggal 2
Agustus 2022
0 komentar:
Posting Komentar