NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Sabtu, 22 Agustus 2009

Kemerdekaan bukan akhir perjuangan

SOLOPOS / Edisi : Sabtu, 15 Agustus 2009 , Hal.4
Kemerdekaan bukan akhir perjuangan

Tanggal 17 Agustus 2009 besok, bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan ke-64. Kemerdekaan adalah bagian integral dari nilai kemanusiaan. Bahkan seorang filsuf dari Prancis, Jean Paul Sartre, secara paradoksal menyatakan bahwa kemerdekaan adalah takdir bagi manusia.

Artinya, kemerdekaan melekat dalam dimensi kemanusiaan sejak lahir.
Dalam filosofi ini, kemerdekaan tidak bersifat eksternal dalam arti merupakan pemberian orang lain, melainkan bersifat internal bahkan eksistensial karena ada dalam diri manusia dan menjadi perwujudan martabat manusia. Karena itulah insan manapun tidak menghendaki hak vital ini dicabut dari dirinya. Demikian halnya tidak satu pun manusia yang berhak mencabut hak ini dari seorang individu.


Pencabutan kemerdekaan merupakan pencabutan dimensi mendasar humanisme itu sendiri. Karena alasan utama ini pula setiap bangsa menolak penjajahan. Dalam sejarah pendirian bangsa ini, tampak secara jelas bahwa filosofi ini pula mendasari para pendiri negeri kita untuk menolak kolonialisme dan penjajahan. Bung Karno adalah salah satu dari sekian the founding fathers bangsa ini yang secara tegas menyatakan hal itu.


Bagi kelangsungan pembangunan sebuah bangsa, Bung Karno bahkan lebih jauh melihat peran kemerdekaan itu. Kemerdekaan adalah jembatan emas. Penempatan kemerdekaan sebagai jembatan emas mengisyaratkan bahwa kemerdekaan bukanlah menjadi akhir sebuah perjuangan, melainkan sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan yang luhur.

Dalam bingkai berpikir ini, kemerdekaan bukanlah sebuah kondisi statis, melainkan sebuah kondisi yang bersifat dinamis (sesuatu yang hidup) dan progresif (mengedepankan kemajuan) serta konstruktif (bernilai). Sebagai sebuah kondisi dinamis dan progresif serta konstruktif, kemerdekaan tidak akan bermakna tanpa diisi dengan tindakan-tindakan yang berarti dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan.
Selain tiga sifat di atas, pemikiran Bung Karno tentang makna kemerdekaan Indonesia tidak bersifat partikular dalam arti kemerdekaan itu hanya menjadi milik dari dan dirasakan oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. Artinya, kemerdekaan sebagai bangsa adalah milik semua orang.

Tekanan universalitas kemerdekaan ini memiliki implikasi etis yang sangat luas, termasuk hasil-hasil pembangunan yang merupakan pengisian terhadap kemerdekaan haruslah menjadi milik semua warga masyarakat. Itu berarti seluruh anggota masyarakat negeri ini memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Karena itu pula, Bung Karno sejak awal sangat tegas menolak ideologi-ideologi ekonomi bersifat partikularistik dan hegemonistik seperti monopoli, kapitalisme, dan egalitarianisme. Semua ideologi ekonomi ini tidak mengindahkan keadilan sosial dan humanitas. Karena itulah, filosofi yang didengungkan Bung Karno adalah ”semua buat semua, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya- tetapi semua buat semua,” (bdk, Bung Karno: Wacana Konstitusi dan Demokrasi, Grasindo, 2001).

Memaknai kemerdekaan
Menyambut HUT ke-64 Kemerdekaan ini, bagaimana kita bisa memaknai kemerdekaan ini? Menurut penulis, ada dua hal yang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi untuk memaknai peringatan ini. Bahan refleksi pertama, sejauh mana rasionalitas telah mendapat tempat dalam masyarakat.

Merujuk pada pemikiran Immanuel Kant, seorang filsuf dari Jerman, satu ciri penting dari manusia merdeka adalah memaksimalkan penggunaan akal budi (vernunft) dalam seluruh perilaku hidup baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota komunitas. Kant bahkan lebih jauh menjadikan rasionalitas sebagai ukuran kedewasaan.
Dalam konteks hidup bersama, rasionalitas ini juga menjadi ciri penentu kedewasaan sebuah komunitas bangsa. Artinya, masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang seluruh aktivitasnya berpijak pada akal budi.

Dua argumen utama mengapa akal budi menjadi modal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Argumen pertama diletakkan pada sisi utama kemanusiaan itu sendiri. Kant sadar betul bahwa hidup menurut bimbingan akal budi merupakan perwujudan nilai hakiki dari kemanusiaan.
Bahkan elemen humanisme inilah yang memberikan makna bagi kemerdekaan, karena ciri orang merdeka ada pada kemampuan untuk mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari tindakannya bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan kata lain, orang merdeka adalah orang yang mampu mengambil keputusan yang bermutu. Dalam relasi sosial justru ini sangat penting.

Argumen kedua bersandar pada dampak positif pemaksimalan penggunaan rasio itu sendiri. Kant mengandaikan bahwa kalau semua orang bisa menggunakan dalil yang sama, yakni menempatkan akal budi sebagai titik pijak kehidupannya dan dijadikan sebagai hukum yang berlaku umum, maka hidup bersama akan semakin bermakna.

Artinya, kalau semua orang menjadikan ini sebagai hukum pribadi dan karena itu menjadi kewajiban, atas dasar kewajiban inilah dia akan mempertimbangkan seluruh tindakannya. Hasilnya, ketenteraman dan ketertiban bersama.

Di samping kebangkitan rasionalitas, dalam memaknai kemerdekaan, bahan refleksi kedua adalah bagaimana rasionalitas itu diwujudkan dalam ruang publik. Akal budi di satu sisi memang bersifat personal. Tetapi pemaknaannya membutuhkan ruang. Itu berarti apa? Kemerdekaan akan bermakna kalau rasionalitas setiap individu mendapat ruang gerak. Dalam hal ini dua hal yang mendapat perhatian.

Hal pertama adalah pengakuan. Agar bisa hidup, rasionalitas membutuhkan pengakuan dari ranah publik. Itu berarti kemerdekaan setiap orang untuk mengeluarkan pendapat, aspirasi, inovasi serta kreativitasnya memerlukan legitimasi. Tanpa ada pengakuan dari publik rasionalitas tidak berarti apa-apa.
Hal kedua adalah ruang publik. Kualitas orang merdeka juga terungkap dalam hal sejauh mana rasionalitas berimplementasi dalam relasi sosial seperti upaya menyelesaikan persoalan-persoalan hidup bersama, khususnya menanggapi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang muncul.

Ketika ruang publik dikuasai oleh tindakan-tindakan yang bersifat progresif dan konstruktif, di situlah kemerdekaan semakin bermakna. Karena yang dihidupkan adalah tanggung jawab moral dan kepedulian terhadap orang lain. Orang merdeka akan selalu menanamkan dalam dirinya etika kepedulian.

Jadi, kemerdekaan sesungguhnya akan semakin memiliki arti mendasar kalau dalam ranah publik perhatian untuk menghidupkan nilai-nilai humanisme menjadi fokus utama seluruh anggota masyarakat dalam kehidupan bersama. Modal mendasar di sini adalah kesadaran setiap individu akan eksistensinya sebagai makhluk rasional yang membutuhkan pengakuan publik dan memerlukan ruang publik untuk bergerak.
Pada umur 64 tahun bangsa ini, internalisasi akan filosofi ini perlu mendapat perhatian dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara untuk memaknai kemerdekaan. Dirgahayu Indonesia! - Oleh : Sutrisno Guru SMPN 1 Wonogiri

Sabtu, 01 Agustus 2009

Memberantas tuntas preman(isme)

Published in WAWASAN / Saturday, 22 November 2008

By Sutrisno

AKSI dan gebrakan dari seorang pemimpin baru memang selalu ditunggu dan diharapkan. Itulah yang kini diperlihatkan dari sosok Kapolri baru Jenderal (Polisi) Bambang Hendarso Danuri yang baru saja menerima tongkat estafet kepemimpinan dari seniornya, Jenderal (Polisi) Sutanto.

Polisi di berbagai daerah kembali melakukan gebrakan untuk membatasi ruang gerak dan bahkan memberantas aksi premanisme yang makin meresahkan masyarakat. Operasi pemberantasan preman sudah dilakukan di Polda Metro Jaya, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara yang kemudian dilanjutkan ke seluruh Polda di Indonesia, sesuai instruksi Kapolri. Di mata Kapolri, premanisme di zamannya harus dituntaskan dan dibersihkan sehingga tidak ada lagi.

Aksi premanisme memang sangat meresahkan masyarakat. Mereka, para pelaku aksi premanisme itu, terdapat di banyak tempat. Seperti tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mereka disebut preman karena melakukan tindak kejahatan; menodong, merampok, memeras, dan sebagainya.

Suburnya premanisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan penguasa juga. Di masa lalu, para preman terkesan diorganisasi oleh kekuatan tertentu untuk kemudian memberikan kontribusi bagi aman dan langgengnya kekuasaan. Sebagai kompensasi para preman diberikan kebebasan untuk menjalankan aksinya tanpa takut diperlakukan keras oleh negara.

Terkadang memang ada aksi tegas terhadap mereka, tetapi itu hanya sebuah aksi yang mengesankan bahwa negara tetap ada. Sesungguhnya, jauh di atas, negara memerlukan mereka, terlebih memerlukan dana-dana ekstra yang didapatkan melalui pekerjaan haram tersebut.

Tetapi ketika penguasa Orde Baru jatuh, yang namanya preman sudah tidak lagi dibutuhkan untuk menopang kekuasaan. Kini kekuasaan datang dari sistem dan mekanisme politik yang kuat. Dengan dukungan masyarakat, maka kekuasaan akan datang pada seseorang atau kekuatan tertentu, tanpa harus mengandalkan cara-cara kekerasan ala premanisme.

Kinerja premanisme lebih memilih tidak berhadap-hadapan dengan aparat keamanan. Ia lebih suka tumbuh jadi parasit di masyarakat yang sakit. Ia butuh situasi aparat keamanan yang ’’lengah”. Lengah di sini bukan berarti tidak peduli atau propremanisme, tetapi mencuri kondisi ketika aparat keamanan tidak menyerang lebih dahulu terhadap premanisme dan kejahatan. Pemberantasan terjadi karena premanisme sudah nyata dan ada korban. Pemberantasan mesti menjadi kinerja aparat keamanan yang proaktif dan mencari bibit premanisme untuk diberantas sebelum ia nyata dan melakukan aksinya.

Tahun 1980-an, pemerintah dengan dukungan personel ABRI sukses ’’membasmi” premanisme di seluruh Indonesia. Ribuan preman berhasil ditangkap. Bahkan sebagian ditembak mati oleh pasukan penembak misterius (Petrus). Petrus betul-betul menjadi momok menakutkan bagi preman sehingga jumlah preman dapat ditekan seminimal mungkin.

Tentu saja bukan strategi Petrus yang dijalankan Kapolri baru saat ini dalam memberantas aksi premanisme. Hanya preman-preman yang meresahkan masyarakatlah yang menjadi sasaran polisi. Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diharapkan. Polri akan sangat mengalami kesulitan bila masyarakat tidak merespon kerja berat jajaran polisi dalam membasmi aksi-aksi premanisme.

Kita pun berharap aksi ini tidak sekadar angin-anginan belaka, tetapi bisa berjalan konsisten mengingat aksi premanisme sudah berjalan sangat lama dan hampir-hampir sudah membudaya di masyarakat kita. Dan tidak hanya aksi premanisme kelas teri saja yang ditangkap, tetapi juga sindikat premanisme terorganisasi, kelas kakap, atau penjahat berdasi.Menangkap preman kecil relatif mudah karena sudah terlihat di setiap harinya di berbagai tempat. Tetapi menangkap preman kelas kakap membutuhkan tenaga dan waktu yang ekstra, dan meski begitu tidak terlalu mudah juga. Tentu saja memberantas preman berdasi jauh lebih sulit ketimbang premanisme pasaran yang mencari uang untuk bisa makan sehari-hari. Mengapa?

Karena umumnya mereka sudah mapan di masyarakat dan punya kekuatan tersendiri. Bisa saja mereka menggunakan organisasi sosial dan pemuda dalam menjalankan aksi premanismenya. Modusnya pun tidak lagi untuk bisa hidup, tetapi memperkaya diri. Tidak tertutup kemungkinan di antara preman berdasi itu menyusup ke dalam parpol dan menjadi anggota legislatif, bahkan mereka pun lolos pula menjadi calon bupati dan walikota di daerahnya. Polisi bisa mengalami kesulitan membasminya karena mereka sudah punya pengikut (anggota), punya uang, dan strategi memperlemah petugas.

Untuk operasi pemberantasan kejahatan preman di Indonesia, peran serta masyarakat sangat penting. Sangat menggembirakan, karena Kabareskrim Irjen Susno Duadji sudah memberikan nomor telepon khusus kepada masyarakat yang disebarkan lewat media massa, yakni nomor 0217218021 dan 081511118778 untuk saluran mengadukan Kapolres atau Kapolda yang tidak mau menindaklanjuti laporan dari masyarakat adanya tindak kejahatan jalanan dan premanisme. Susno berjanji akan menindak anggotanya yang tidak menindaklanjuti laporan masyarakat.

Sebenarnya, tidak sulit mengatasi penyakit masyarakat premanisme ini. Itu kalau polisi serius, punya konsep yang jelas, dan masyarakat mendukungnya. Hemat saya, akan jauh lebih baik jika merebaknya aksi premanisme tidak semata ditangani sebagai kasus pelanggaran hukum. Sementara di sisi yang lain, kita lupa bahwa akar masalah premanisme sebetulnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang seringkali tidak adil. Di sinilah pemerintah kota/daerah/pusat berkewajiban untuk menahan laju marginalisasi (kemiskinan ekonomi, keterasingan dari masyarakatnya, kemiskinan mental, dan norma-norma sosial) dengan proses sebaliknya yakni mempercepat kesejahteraan. Jika ini terealisasi, premanisme yang berakar dari marginalisasi bisa diberantas tuntas sampai ke akarakarnya.

WELCOME :-)

Welcome to Mr. Shoetrace [Sutris] Blog, a teacher of no. 1 SMP in Wonogiri :-)

Let's share anything to....
Educate our Generation...
Improve our knowledge of human interest...
Give a little good deed to this earth

Thanks... Matur Nuwun