NO WASTING TIME!

Jumat, 10 Desember 2010

Menuju Pendidikan Karakter

Published by Joglosemar / Kamis, 09-12-2010

- Sutrisno
Pemerhati pendidikan,
guru di SMPN 1 Wonogiri

Pemerintah Kota (Pemkot) Solo siap meluncurkan program pendidikan berkarakter pada semester Januari mendatang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pun sudah selesai dibuat. Pendidikan berkarakter di Kota Solo akan mengarah pada pengembangan nilai-nilai budaya sebagai pembentuk karakter masyarakat, utamanya para generasi muda. Penanaman nilai budaya tersebut, ikut tertuang dalam kurikulum sekolah. Salah satu upaya konkretnya adalah dengan memberlakukan hari khusus bertutur bahasa Jawa dan penanaman budaya santun (Joglosemar, 4/10/2010).

Pada banyak momentum, kita diingatkan tentang pembangunan karakter bangsa, karena memang demikianlah tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya sangat menyambut program pendidikan karakter di Kota Solo, kota di mana saya tinggal. Apalagi, Kota Solo dikenal dengan kota budaya dan menjadi salah satu pusat pendidikan di Indonesia. Dengan adanya pendidikan berkarakter di Kota Solo, diharapkan bisa muncul lulusan dari beragam kualifikasi pendidikan yang mengenal karakter budaya Kota Solo. Paling tidak para generasi muda atau pelajar bisa rumongso atau rendah diri namun tetap mempunyai kemampuan intelektual yang andal.

Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respons atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psikososial yang humaniter dan integral.

Lantas, bagaimana upaya membangun pendidikan berkarakter di Kota Solo? Pertama, pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga. Keluarga menjadi institusi penting dalam membentuk pendidikan berkarakter bagi anak. Jika keluarga gagal melaksanakan tugas tersebut, sekolah akan mengalami kesulitan untuk menangani anak didik. institusi keluarga memiliki tiga fungsi penting, yakni fungsi pendidikan, fungsi agama, dan fungsi ekonomi. Keluarga menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter.

Kedua, kepala sekolah, pendidik (guru), dan tenaga kependidikan yang berkarakter. Yaitu orang-orang yang mampu menjunjung tinggi kejujuran, moralitas, etika, tata krama, dan sopan santun yang ke depannya akan menjadi teladan bagi para siswa.

Proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral. Pendidik yang menjunjung tinggi nilai moral akan mengutamakan nilai moral ketika berlangsungnya proses transformasi ilmu dan keterampilan kepada peserta didik. Pendidik harus dapat dijadikan panutan oleh peserta didik, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga, dan masyarakat. Melalui keteladanan itulah diharapkan siswa mampu menyerap dan menginternalisasikan apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat dari perilaku dan tindakan orang-orang di lingkungan sekolah ke dalam dirinya untuk kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya.

Ketiga, pihak sekolah perlu membuat semacam teknis pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter bisa dimasukkan menjadi bagian di dalam kurikulum, rencana pembelajaran, dan silabus, yang dikemas di dalam KTSP, model pendidikan karakter, apakah akan berdiri sendiri sebagai satuan mata ajaran, atau terintegrasi pada subjek ajar yang sudah ada. Misalnya pada mata pelajaran pendidikan agama, kewarganegaraan, ilmu budaya dan sosial dasar, dan sebagainya. Atau bisa masuk ke semua mata pelajaran. Serta membuat peraturan soal pendidikan karakter, misalnya: cara berpakaian, dilarang merokok, bertato, dan membawa barang-barang mewah dll.

Keempat, peran pemerintah. Di samping memberikan dana, maka ada banyak hal yang semestinya dibenahi antara lain: pemerintah harus berani menegur kepala sekolah yang bertindak diskriminatif, otoriter, dan menjadi raja-raja kecil yang tertutup, menindak tegas pelaku sogok pada saat penerimaan siswa baru, para guru yang terlibat suap, birokrasi sekolah yang menyusahkan rakyat miskin, dan pemberantasan pungli di lingkungan pendidikan dll.

Pengambilan kebijakan pemihakan terhadap pembangunan karakter secara konsisten ini mencerminkan karakter pemerintah yang sangat efektif dalam membangun kesadaran dan semangat pelaku pendidikan. Jika hal tersebut di atas berhasil dilaksanakan maka pemerintah akan semakin kuat legitimasinya sebagai garda depan dalam pembentukan karakter.

Kelima, melibatkan masyarakat secara penuh mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Makna karakter yang ingin dibentuk pada peserta didik harus berasal dari masyarakat dan menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya sekolah. Pilihlah pegawai pemerintah yang eligible, berkarakter kuat, dan mau fokus dan bekerja keras dalam membangun pondasi program ini. Program ini hanya bisa optimal jika penggeraknya adalah orang-orang yang disegani karena dedikasi dan karakternya yang baik. (***)

0 komentar: