NO WASTING TIME!

Senin, 18 April 2011

Stop! Kecurangan UN

Dimuat di KORAN JAKARTA / Senin, 18 April 2011

Pelaksanaan ujian nasional (UN) kembali digelar. Untuk tingkat SMA/MA/SMK, ujian dilaksanakan pada 18-21 April, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/ MI 10-12 Mei 2011 mendatang. Setiap menjelang UN, kecemasan luar biasa tampak kentara mengumbar ke permukaan. Kecemasan ini bisa dirasakan orang tua, guru, bahkan pihak sekolah. Siswa juga tidak sedikit dag... dig... dug... menjelang UN. Ada kekhawatiran yang amat sangat, kalau-kalau siswa tidak lulus karena tidak mendapatkan nilai sesuai standar. Kenyataan ini memang sangat lumrah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Nah, siapa yang harus disalahkan jika di satu sekolah, mayoritas siswa atau bahkan 100 persen tidak lulus UN? Bagaimana pula jika yang tidak lulus justru siswa yang sudah mengukir banyak prestasi? Walhasil, berbagai upaya dilakukan agar lulus. Mulai dari mengikuti les tambahan sore dengan fokus membahas materi UN, hingga ujian uji coba (try out). Upaya yang tentu sah-sah saja. Hal yang justru menjadi masalah, kalau pihak sekolah melakukan kecurangan untuk mendapatkan hasil memuaskan.

Ya, untuk meningkatkan jumlah kelulusan. Jika mementingkan kuantitas tanpa memikirkan kualitas, ini bukan mustahil dilakukan. Bahkan, ada yang beranggapan, hanya sekolah yang selama ini menerapkan pembelajaran berkualitas yang mampu mengikuti UN 2011 dengan benar-benar mengedepankan prinsip kejujuran. Memang, pada 2011 ini, UN bukan lagi alat seleksi utama yang menentukan kelulusan siswa. Mulai tahun ini, formula kelulusan siswa dari satuan pendidikan harus mengakomodasi nilai rapor, ujian sekolah, dan UN (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan dan Permendiknas Nomor 46 tentang Pelaksanaan UN SMP dan SMA Tahun Pelajaran 2010/2011).

Formula baru yang akan dilaksanakan adalah menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah. Nilai sekolah merupakan gabungan nilai ujian sekolah ditambah nilai rapor semester 1-4. Selain itu, nilai gabungan nilai sekolah dengan UN ditetapkan minimal 5,5. Dengan adanya formula baru ini, UN ulangan kabarnya akan ditiadakan karena syarat atau formula yang ada saat ini dinilai lebih longgar, yakni maksimum dua mata pelajaran dengan nilai 4, dan minimum 4 mata pelajaran dengan nilai minimum 4,25. Logikanya, dengan menjadikan UN bukan lagi alat seleksi utama yang menentukan kelulusan siswa, pelaksanaan UN seharusnya tidak lagi begitu menghantui.

Tapi, benarkah? Harus diakui, UN telah menimbulkan kepanikan di mana-mana. Bukan hanya siswa yang panik, tetapi guru, orang tua, kepala sekolah, kepala dinas, bahkan walikota/ bupati pun ikut gelisah. Maka, yang terjadi adalah munculnya berbagai kecurangan, baik yang dilakukan individu maupun kolektif. Apabila kecurangan UN dibiasakan dan berkelanjutan tiap tahun, maka tidak mustahil nantinya menjadi suatu budaya dan bisa mewarnai karakter generasi penerus bangsa ini. Keadaan semacam ini akan sangat membahayakan dan dapat menghambat upaya kita dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Sudah saatnya kecurangan dalam UN dihentikan.

Pertama, melaksanakan semua ketentuan dan tata tertib UN. Melarang semua peserta UN membawa HP, buku, dan catatan dalam bentuk apa pun ke dalam ruang UN serta selama UN berlangsung. Mencegah peserta UN untuk bekerja sama, memberi atau menerima bantuan dalarn menjawab soal, memperlihatkan pekerjaan sendiri kepada peserta lain atau melihat pekerjaan peserta lain. Di sinilah dituntut kejelian dari pengawas ujian. Kedua, selain pengawas ujian, siapa pun dilarang termasuk pejabat, tidak diperkenankan masuk ruang ujian. Pengawas ujian tidak diperbolehkan membawa ponsel.

Pengawas ujian harus profesional, independen, dan tegas melaporkan setiap bentuk kecurangan UN. Ketiga, mewaspadai adanya “Tim Sukses UN”. Modus operandinya “Tim Sukses UN” (biasanya guru mapel yang di UN-kan) mengerjakan soal ujian dan memberikan jawaban kepada siswa dengan memakai kertas lintingan, menuliskan jawaban di toilet, dan berbagai cara lainnya. Hal ini dilakukan untuk meraih target lulus UN seratus persen dan menjaga nama baik sekolah. Keempat, menutup peluang mengganti/ manipulasi lembar jawaban komputer (LJK) atau menyiapkan LJK bayangan karena ada banyak cadangan LJK, khususnya bagi siswa yang diragukan kompetensinya oleh sekolah.

Untuk mencegah hal ini, maka lembar jawaban yang telah selesai dikerjakan siswa di setiap ruangan, setelah dicek oleh pengawas perlu segera dimasukkan ke dalam amplop dan ditutup/dilem/disegel di masing-masing ruangan ujian oleh masing-masing pengawas ujian dengan disaksikan oleh peserta ujian. Sehingga di ruang panitian ujian hanya mengumpul amplop lembar jawaban yang telah disegel. Kelima, memberikan hukuman yang setimpal bagi siapa yang terlibat dalam melakukan kecurangan-kecurangan UN, bila perlu hukuman pidana. Karena, UN merupakan salah satu bagian dari agenda nasional.

Bahkan, materi UN sudah dijamin kerahasiaannya dengan memasukannya ke dalam dokumen negara. Karena itu, jika sampai bocor pelaku bisa diancam pidana. Apalagi, UN masih diragukan kredibilitasnya oleh para rektor sebagai salah satu persyaratan masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Fakta integritas yang telah digagas oleh pemerintah dengan kepala sekolah dan kepala-kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota, masih belum bisa menjamin UN berjalan jujur. Semua pihak yang terlibat dalam UN, baik siswa, guru, kepala sekolah, panitia penyelenggara, dan pejabat daerah harus menggunakan hati nurani agar hasil UN kali ini benar-benar jujur dan kredibel.

Janganlah kita hanya berorientasi pada hasil dan target tingginya tingkat kelulusan. Pelaksanaan UN jangan dikotori dengan cara-cara yang tidak mendidik dan membunuh kejujuran nurani. UN harus berlangsung jujur dan kredibel karena dari situlah akan diperoleh peta kualitas kualitas pendidikan, mendiagnosis, dan menentukan kebijakan yang tepat untuk perbaikan di masa mendatang. Selamat mengerjakan UN!

Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

Oleh: Sutrisno

0 komentar: