NO WASTING TIME!

Kamis, 19 Mei 2011

Semangat untuk Bangkit

Koran Jakarta / Kamis, 19 Mei 2011

Pada 20 Mei ini, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan Harkitnas hendaknya bisa dijadikan momentum untuk bangkit dan bukan sekadar upacara formalitas dan ritual belaka. Setelah tiga belas tahun reformasi berjalan kita bahkan seperti tidak beranjak ke mana-mana. Situasi serba krisis masih saja yang sama, padahal negaranegara lain, meski dihadapkan kepada persoalan, sudah krisis yang baru. Kita semua merasakan ketertinggalan itu terutama dari negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan, secara perlahan, negara-negara yang dulu jauh tertinggal, seperti Vietnam, sudah mendekati malah ada yang mengatakan sudah menyamai kita.

Berbagai perbandingan dengan negara- negara lain sengaja diangkat oleh media bukan untuk membuat kecil hati, tetapi sebaliknya untuk menggugah kesadaran kita bersama bahwa kita tidak bisa terus seperti ini. Sekadar ribut sendiri di dalam, tanpa berupaya untuk bertindak. Terutama kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah utama yang harus segera bisa kita selesaikan. Tanpa itu, kondisi sosial bukan hanya menjadi rentan, tetapi terus-menerus membangkitkan rasa curiga dan saling menyalahkan di antara kita. Kita tidak boleh berhenti untuk membangun harapan karena negeri ini tetap memiliki potensi yang besar untuk maju.

Sumber daya manusia yang kita miliki tidak kalah dibandingkan dengan sumber daya manusia bangsa lain. Hanya saja, mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan terbaik yang mereka miliki. Kita sering tidak percaya dengan kemampuan anak-anak bangsa kita sendiri Setidaknya ada beberapa faktor utama yang menyebabkan Indonesia sering kali mengalami kesulitan untuk bangkit. Jika tidak diselesaikan, kendala ini dalam jangka panjang bisa menjadi faktor yang merusak bangsa dari dalam, sehingga peluang untuk bangkit akan jauh lebih sulit di masa depan.

Pertama, sudah sejak lama bangsa ini memunyai masalah dengan ideologinya. Sampai hari ini kita tidak bisa merumuskan suatu clear ideology. Padahal, dalam clear ideology, berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk sumber daya di dalamnya, bisa diikat untuk mencapai tujuan akhir bersama (Abdurrahman Wahid, Indonesia Kini dan Esok, 1980). Clear ideology berfungsi sebagai daya ikat sekaligus menjadi petunjuk arah perjalanan bangsa menghadapi berbagai tantangan dan perubahan. Kedua, orientasi yang terlalu berat ke politik.

Bahkan, perpolitikannya berorientasi jangka pendek dan fokus hanya pada kekuasaannya. Bukan perpolitikan yang sehat untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas, serta membawa perbaikan bagi perikehidupan rakyat banyak. Kita tidak menutup mata, karena pilihan kita membangun sistem demokrasi, pilarnya adalah partai politik. Lalu, yang membuat partai politik bisa memainkan perannya, hal itu tergantung kepada orangnya, kepada politisi yang ada di dalam parpol tersebut.

Hanya saja akan sangat berbahaya apabila politik hanya sekadar untuk tujuan memperoleh kekuasaan dan bahkan kekuasaan itu hanya dinikmati hak istimewanya, privilegenya, bukan tanggung jawabnya untuk kemajuan bangsa. Ketiga, rendahnya jaminan negara dalam mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Negeri ini seolah bukan lagi miliki rakyat, karena kemakmuran dan kesejahteraan dalam standar minimal pun tak dirasakan rakyat. Sebaliknya para elite politik bergelimang harta dan kekuasaan.

Elite ekonomi berlomba menumpuk pundi-pundi rupiah dan dolar, menjarah hasil hutan, laut, emas, dan logam hingga habis. Kaum intelektual pun terperosok dalam kubangan permainan elite kekuasaan dan uang. Maka, lengkaplah sudah derita rakyat di negeri ini. Keempat, bangsa ini tidak memiliki karakter sebagai bangsa. Masyarakat kita dinilai malas, pesimistis, tidak bisa disiplin, tidak punya mimpi besar, tidak mampu kerja keras, tidak solider, individualis, dan sebagainya. Tidak heran bila budaya korupsi dan kekerasan bisa tumbuh subur di negara ini.

Kelima, belum munculnya kepemimpinan nasional yang kuat. Kepemimpinan demikian bertugas menjaga dan mengembangkan ideologi nasional secara konsisten, dan sekaligus mengawal kelangsungan tahapan-tahapan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tugas ini mengharuskan adanya suatu pola kepemimpinan yang meletakkan proses pembangunan bangsa sebagai pekerjaan jangka panjang, sehingga capaian-capaian yang dibuat tidak sekadar memenuhi kepentingan lima tahunan. Dalam bahasa Ignas Kleden (2003), pemimpin yang visioner adalah orang yang memunyai desain masa depan Indonesia.

Maka, dia harus memiliki gambaran tentang bagaimana keadaan, nasib, dan bentuk Indonesia ini 10–20 tahun mendatang. Kita pernah punya Bung Karno dan dan Pak Harto yang visioner. Sayangnya, keduanya juga punya kelemahan yang nyaris menegasikan hasil positif yang sempat mereka ukir. Pola kepemimpinan nasional kita tidak melembaga secara kuat karena sebagian pemimpin nasional berpikir sektoral dan untuk kepentingan jangka pendek. Jarang ada pemimpin yang menginvestasikan hidupnya untuk satu generasi ke depan, sementara dia sendiri mungkin tidak akan ikut menikmati hasil investasinya.

Momentum Harkitnas kali ini, harus dapat kita maknai sebagai satu kesadaran kembali bagaimana memulihkan kembali jiwa dan semangat keindonesiaan kita untuk bangkit serta berjuang memperbaiki negara, bangsa, dan Tanah Air. Pakar politik terkemuka Peter Evans menyarankan untuk bringing state back in, membawa kembali negara sesuai fungsinya dalam kapasitas negara yang cukup untuk melakukan proses modernisasi dan kesejahteraan bersama.

Penulis adalah Pemerhati masalah bangsa.
Oleh: Sutrisno

0 komentar: