NO WASTING TIME!

Jumat, 02 Mei 2014

Perempuan Pemikir Bangsa

Setiap tanggal 8 Maret, komunitas pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional. Melalui tulisan ini, penulis ingin memaknai Hari Perempuan Internasional. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Perempuan adalah realitas yang terasing. Ia tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum teolog serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan kultural dan struktural sejak milenium keempat sebelum masehi sampai kini.

Secara kultural dan struktural, perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan hegemonik di ranah publik. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Berbagai perlakuan yang tidak merata masih kerap menimpa kaum perempuan. Potensi-potensi besar yang dimiliki oleh kaum perempuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, kemajuan sosial, perdamaian dan pemerintahan yang baik masih belum tersentuh. Kekerasan terhadap lain jenis kelamin tidak saja merusak kehidupan para perempuan, remaja-remaja putri, keluarga dan masyarakat, tetapi juga merenggut berbagai bakat yang mereka miliki dan sangat dibutuhkan oleh dunia.

Pada tataran praksis, kaum perempuan tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara secara kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui kementerian pemberdayaan perempuan dan komisi perempuan. Namun mengapa semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan. Persoalannya, sejauh mana negara memberi peluang bagi aktualisasi potensi kaum perempuan?

Release Sarekat Hijau Indonesia dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2010 lalu menyatakan bahwa negara gagal memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan bagi hak asasi perempuan, perempuan mengalami lapis-lapis kekerasan mulai dari pengabaian dan pengucilan terhadap pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam berupaya menyelamatkan sumber-sumber kehidupan mereka, yang berbasis berbasis pada pengalaman dan kekhasan perempuan itu sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk bagaimana pengetahuan perempuan sebagai penjaga pangan keluarga dan komunitasnya.

Kita juga harus mengelus dada karena peran positif kaum ibu dalam kancah pembangunan juga ternoda dengan perliku negatif, yaitu terlibat dalam kasus korupsi. Sebut saja, Malinda Dee, Miranda Gultom Swaray, NununNurbaeti, Neneng Nazaruddin, Mindo Rossa Manulang, Wa Ode Nurhayati, Angelina Sondakh, Ratu Atut Chosiyah, tokoh “bunda putri”, dan lain sebagainya. Mereka adalah sosok ibu masa kini yang berperan jadi perantara, “pembelanja” dan aktor utama korupsi serta tindak pidana pencucian uang. Mungkin inilah satu satu “buah” dari gegap gempitanya gerakan emansipasi di negeri ini, dimana para kaum hawa berbondong-bondong hijrah dari zona domestik menuju ranah publik.

Perlu pembelaan negara terhadap nasib perempuan melalui berbagai kebijakan. Menurut A. Bakir Ihsan (2007), setidaknya ada empat agenda terkait eksistensi perempuan. Pertama, perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan, kejahatan, dan tindakan yang ekstrem. Kedua, peningkatan kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia. Ketiga, memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, maupun sosial. Keempat, memastikan bahwa tatanan kehidupan, UU dan peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif.

John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa abad XXI adalah abad kebangkitan perempuan atau pakar manajemen Tom Peters mengatakan, tomorrow belongs to women. Perempuan harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya sebagai wanita yang sesungguhnya. Misi sejati memperingati Hari perempuan adalah untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep-konsep adil gender dan feminisme berkembang di negeri ini.

Menjadi perempuan bukan hanya berfikir dalam lingkup kecil rumah tangganya, tetapi juga menjadi pemikir bagi bangsanya. Itulah sebenarnya makna sejati dari perjuangan politik, berpikir untuk bangsa, berpikir untuk rakyat, berpikir untuk cita-cita negara, berpikir untuk keberlangsungan masyarakat bangsanya. Kekuatan perempuan bisa menjadi salah satu sayap dari Garuda Bhineka Tunggal Ika, terbang membahana membawa citra cemerlang negara dan bangsanya. Belajar dari sejarah, harus ada reformasi dalam tubuh semua organisasi perempuan, kembali pada semangat juang Hari Perempuan, kembali pada makna perjuangan kebangsaan untuk mendobrak kekuatan-kekuatan di hadapan mata yakni kapitalisme dan imperalisme yang sangat jelas menterpurukkan kehidupan perempuan, mendobrak kemiskinan dan ketidak adilan, mendobrak tindak kekerasan dan perdagangan perempuan (Nuniek Sriyuningsih dan Sukirno, 2004).

Oleh karena itu, Hari Perempuan kali ini harus diarahkan untuk mengembalikan semangat juang kaum ibu dalam memajukan dan mensejahterakan bangsa dengan segenap potensi dan kemampuan yang ada. Kaum perempuan harus lebih optimal berperan serta dan berkontribusi secara signifikan dalam gerakan kebangkitan nasional serta kemajuan masyarakat, bangsa dan negara. Di negara mana pun juga peranan kaum ibu sangat signifikan bagi kemajuan bangsanya. Ingat sabda Nabi Muhammad SAW, “Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan baik, negara itu akan sejahtera secara penuh. Tetapi, jika perempuan rusak, negara itu akan rusak secara penuh pula.”.

* Penulis adalah Sutrisno, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

** Dimuat di Harian Republika, Sabtu 8 Maret 2014

0 komentar: