NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Jumat, 17 Juni 2011

Robohnya Sebuah Kejujuran



Dimuat di Koran Jakarta / 17-06-2011

- Sutrisno

Sebuah kabar tak sedap datang dari dunia pendidikan, yaitu kasus mencontek massal pada ujian nasional (UN) yang terungkap di SD Negeri II Gadel, Kota Surabaya. Kecurangan itu terungkap karena ada siswa yang mengalami depresi gara-gara disuruh memberikan contekan kepada teman-temannya. Siswa SD Negeri II Gadel yang dikenal pintar di sekolahnya itu, selalu menangis di kamar dan ketakutan setelah diperintah salah seorang gurunya untuk memberikan contekan kepada siswa lain. Padahal, ia merupakan anak yang cukup mandiri dan percaya diri.

Kedua orang tuanya, Widodo dan Siami, pun melaporkan kejadian tersebut ke sekolah dan diteruskan ke Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Kepala sekolah itu dicopot dan dua guru mendapat sanksi penurunan pangkat. Akan tetapi, persoalan tidak lantas beres. Warga desa bereaksi. Mereka mengintimidasi dan mengusir keluarga Widodo.

Kasus di SD N Gadel itu mendapat perhatian luas. Tampaknya, berita itu benar adanya. Hal yang mirip juga terjadi di SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Caranya sedikit lebih "canggih". Siswa yang dianggap pintar diminta membagi jawaban ujian nasional kepada teman melalui telepon seluler.

Dua kasus yang muncul ke permukaan itu, di tengah kemungkinan banyak kasus tetapi tidak diketahui publik, tentu membuat kita sangat prihatin. Sekalipun UN tak lagi menjadi penentu kelulusan siswa, masyarakat dan sekolah tetap mengejar kebanggaan yang semu. Mereka ingin sekolah atau daerahnya dianggap berprestasi, dengan menghalalkan segala cara.

Kasus mencontek massal tersebut menandakan telah robohnya sebuah kejujuran. Lebih parah lagi, kejujuran yang semestinya menjadi roh pendidikan justru dimusuhi dan dilawan. Ruang publik hanya dijejali sikap-sikap amoral yang dipertontonkan pejabat publik pengidap kleptomania yang gemar mencuri uang negara. Nilai-nilai yang mencuat didominasi sikap ketamakan, manipulasi, dan kebohongan.

Kasus mencotek massal merupakan sebuah ironi dari pendidikan kita. Guru yang seharusnya menanamkan sikap dan sifat jujur kepada para anak didik, malah menyuruh siswa berbuat curang secara bersama-sama. Padahal, kejujuran merupakan salah satu pondasi penting pendidikan. Tanpa menyangkal bahwa gejala kemerosotan moral memang selalu terjadi, sulit untuk menutup mata terhadap penafsiran bahwa gejala itu menunjukkan rasa tidak percaya diri yang sedemikian besar dalam menghadapi UN. Ketika protes terbuka, bukan sebuah pilihan yang menarik dan menyiapkan diri dengan berbagai tekanan (drill) sekeras-kerasnya, berakhir dengan frustrasi dan desperasi, kecurangan UN adalah sebuah keniscayaan.

Bentuk-bentuk kecurangan UN tampaknya masih terpelihara dengan baik. Ada dua alasan utama terhadap sinyalemen tersebut. Pertama, selain untuk memberi ruang yang tak hingga atas kekuasaan Sang Pencipta, tetapi lebih pada sulitnya membangun kesadaran dan menunjukkan perilaku jujur. Kedua, belum tampak gerakan yang massif dilakukan selama Tahun Pelajaran 2010/2011 yang membangkitkan motivasi dan integritas siswa menghadapi UN 2011. Jika pun dilakukan, masih dalam persiapan latihan ujian saja, itu pun hanya di beberapa sekolah. Situasi pembelajaran yang mengintegrasikan budi pekerti luhur dan daya juang siswa belum tampak secara operasional mewarnai pembelajaran 2010/2011.

Berkaitan dengan UN, kita harus membangun budaya jujur dan akuntabel. Hal ini memang sering dibicarakan, tapi belum dilaksanakan. UN akan menjadi lebih bermakna jika kita pandang sebagai ujian untuk menunjukkan karakter kita, ujian untuk menunjukkan jati diri. Kita tidak boleh memiliki karakter yang negatif. Kita harus yakin bahwa kita adalah bangsa dengan karakter jujur dan akuntabel.

Mengutip Mochtar Buchori (1995), dunia pendidikan harus mampu menentukan sistem untuk dirinya sendiri, perubahan-perubahan apa yang boleh terjadi dan apa yang tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dunia pendidikan harus lebih aktif untuk mengarahkan pertumbuhan dirinya dan tidak menyerah begitu saja kepada perintah dan imbauan yang datang dari luar.

Karena itu, menjadi tanggung jawab konstitusional kita dalam membenahi dunia pendidikan kita agar lebih baik dan berkualitas. Penyelenggaraan UN yang mantap, jujur, dan berkualitas adalah salah satu prasyarat utamanya. Lebih baik penyelenggaraannya, lebih baik juga hasilnya. Mutu harus ditingkatkan. Modus penyelenggaraannya juga harus lebih profesional dan bertanggung jawab serta taat asas.

Modal utama dalam memperbaharuinya adalah dengan mengubah pola pikir. Perspektif kalangan dunia pendidikan juga harus dibaharui. Misalnya, lebih baik melihat kenyataan objektif daripada harus memoles diri dalam kepalsuan. Jika memang siswa tidak lulus, ditunjukkan saja tidak lulus. Ini jauh lebih baik daripada harus bermanis-manis ria, namun di kemudian hari kita menyesal. Jika sekarang kita menghendaki agar siswa kita berkualitas, mengapa tidak sejak lama kita mempersiapkan diri?

Ke depan, jangan lagi ada mental instan! Jangan pula ada lagi kecurangan! Biarkan tampilan murni wajah pendidikan kita yang terlihat. Tidak boleh ada kepalsuan dan ketidakjujuran. Pelaksanaan UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, dari pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. UN yang jujur dan bersih setiap tahun memang harus menjadi komitmen bersama. Hanya dengan perubahan yang signifikan, kita masih bisa berharap pendidikan bisa mengubah bangsa ini menjadi lebih beradab.


Sutrisno
Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri, Jawa Tengah.

Dalam Pendidikan, Kejujuran adalah Segalanya

Dalam sepekan terakhir, publik dikejutkan dengan pengungkapan dugaan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) SD di SD Gadel II oleh salah seorang orangtua siswa, Siami. Dugaan yang sama juga disinyalir terjadi dalam ujian nasional di SD 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Pakar Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman mengatakan, tidak boleh ada kompromi terhadap kecurangan. Dalam pendidikan, kejujuran adalah segalanya.

"Kejujuran harus menjadi gerakan nasional. Dalam bidang pendidikan tidak ada kompromi. Di semua jenjang, dari TK sampai dengan Professor," kata Arief saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/6/2011).

Ia juga mengatakan, program pendidikan harus bertanggungjawab dalam memberikan proses yang betul-betul mengembangkan potensi peserta didik. "Bukan hanya sekedar transfer ilmu, tetapi memunculkan potensi pada anak-anak peserta didik," katanya.

Oleh karena itu, Arief mengimbau para pemegang kewenangan dalam dunia pendidikan harus melakukan evaluasi harian, evaluasi bulanan, evaluasi per semester dan evaluasi di akhir tahun ajaran.

"Evaluasi itu harusnya tidak hanya kognitif, tetapi juga afektif. Letak kecurangan ada di evaluasi. Dimana sekolah berstrategi untuk meluluskan siswa-siswanya. Inilah yang harus dihantam. Jangan melakukan evaluasi hanya di ujung tahun," tandasnya.

"Ketika anak tidak lulus, tidak akan hancur harkat dan martabatnya. Tapi ketika tidak jujur, maka harkat pun hancur," tambah Arief.

Ia menilai, ketakutan para orang tua jika anaknya tidak lulus merupakan sesuatu yang wajar. Akan tetapi, menjadi tak wajar ketika segala cara ditempuh demi mengharapkan kelulusan itu.

"Selain itu, orangtua juga harus disadarkan. Apa yang terjadi di Gadel adalah masyarakat sakit, karena mengusir orang yang berusaha jujur. Saya pikir ini harus ada satu langkah struktural dan kultural. Langkah struktural adalah memberikan sanksi tegas dan tak kenal kompromi kepada pihak-pihak yang terbukti terlibat. Langkah kultural perlu dipertimbangkan karena pendidikan tidak berdiri sendiri, ketika ekonominya surut maka pendidikan juga akan surut. Ketika hukumnya kendur maka proses pendidikan juga akan mengendur. Karena memang pendidikan tidak berdiri sendiri," pungkasnya.

edukasi.kompas.com

Saatnya Kejujuran Jadi Gerakan Nasional

Ketidakjujuran telah menjadi masalah yang sangat kronis dan sistemis di negeri ini, bahkan ”meracuni” anak-anak. Padahal, anak-anak di jenjang pendidikan dasar sebenarnya menjadi harapan untuk memperbaiki masa depan bangsa Indonesia yang kini sedang diterpa krisis moral dan karakter.
Sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu serta mengejar target kelulusan, tetapi tempat menanamkan nilai kejujuran.

Untuk memperbaiki karakter bangsa ini, sudah saatnya kejujuran menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua pihak.

Demikian disampaikan praktisi pendidikan Arief Rachman, Anita Lee, dan Utomo Dananjaya di Jakarta, Rabu (15/6). Mereka menanggapi kasus diusirnya keluarga Ny Siami (32) oleh warga sekitar karena mengungkap ketidakjujuran yang terjadi di sekolah anaknya, Alifah Ahmad Maulana (13). Alifah diminta gurunya untuk memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional lalu.

Menurut Arief, sekolah semestinya bukan sekadar tempat transfer ilmu serta mengejar target kelulusan. ”Lebih penting dari itu, justru mendidik moral dan karakter anak-anak, terutama soal kejujuran,” ujar Arief.

Anita Lee, Guru Besar Pendidikan dari Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, mengatakan, ketidakjujuran yang terungkap di satu sekolah hanyalah kebetulan karena ada yang berani mengungkap. ”Di tempat lain sebenarnya kecurangan sudah biasa terjadi. Sayangnya, tidak ada yang mengungkap,” kata Anita.

Parahnya, sekolah yang diharapkan menjadi benteng terakhir pendidikan moral justru ikut merusak moral anak dan itu dicontohkan langsung oleh guru.

Utomo Dananjaya yang juga Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, mengatakan, merebaknya sikap permisif terhadap kecurangan yang terjadi di sekolah-sekolah sebenarnya sangat mengkhawatirkan bangsa ini.

”Sistem pendidikan perlu dievaluasi secara menyeluruh dan mendalam. Pasti ada yang salah dengan filosofi, sistem, dan arah pendidikan kita,” kata Utomo.

Ia berkeyakinan, sistem pendidikan saat ini hanya bersifat ”pengajaran”, tetapi tidak melakukan pendidikan moral dan karakter, seperti kejujuran, disiplin, menghormati kemanusiaan, dan toleransi.

Gerakan nasional

Arief mengatakan, untuk memperbaiki moral dan karakter masyarakat bangsa ini, kejujuran harus menjadi gerakan nasional yang dilakukan semua pihak secara bersamaan. ”Tidak mungkin dilakukan hanya oleh sekolah karena sekolah tidak berdiri sendiri. Ada sistem yang kait-mengait,” ungkapnya.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, pihaknya menghargai upaya keluarga Ny Siami yang mengungkap kecurangan ujian nasional di SDN Gadel II Surabaya. Namun, Kementerian Pendidikan Nasional menyimpulkan bahwa kecurangan massal ujian nasional di sekolah tersebut tidak terbukti sehingga tak perlu ada ujian nasional ulang.

Nuh menjelaskan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur sudah melakukan pemindaian jawaban dari 60 siswa yang mengikuti ujian nasional di sekolah tersebut. Pola jawaban tidak menunjukkan adanya kesamaan identik antara satu siswa dan siswa lain.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Zainuddin Maliki dan dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Daniel M Rosyid, menyatakan, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem pendidikan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tetap menjatuhkan sanksi terhadap guru yang menganjurkan muridnya mencontek. Risma pun menolak dilakukan ujian ulang. ”Murid tidak bersalah. Tidak pantas dihukum dengan melakukan ujian nasional ulang,” tuturnya.

edukasi.kompas.com

Minggu, 12 Juni 2011

Guru Harus Efektifkan Pembelajaran di Sekolah

Pakar pendidikan Furqon Hidayatullah mengatakan, guru harus bisa mengefektifkan pembelajarannya di sekolah agar murid terpacu dalam belajarnya. “Buat saya, guru itu harus bisa menanamkan motivasi internal kepada murid, kinerja guru itu harus memberikan kesuksesan pada murid, guru harus mampu memberikan inspirasi agar potensinya diberdayakan. Guru itu kalau berani ngajar, ya harus mau belajar,” tandasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Surakarta, Rahmat Sutomo saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar di SMA Negeri 4 Surakarta, Kamis (9/6), melarang guru membuka les pribadi. "Guru jangan membuka les-lesan. Tapi mengajarlah dengan baik di sekolah. Oleh sebab itu nanti akan ada evaluasi kinerja guru."

Kepada Timlo.net, Jumat (10/6), Furqon Hidayatullah yang juga Dekan FKIP UNS, menambahkan, kekuatan dari sebuah sekolah itu ada di dalam pembelajarannya. “Untuk masalah les itu, sebaiknya digunakan untuk pengembangan dan bukan untuk pengulangan.”

Ditambahkan, “Kalau di sekolah sudah diberikan pembelajaran secara benar, pasti seorang guru tidak akan memberikan pengulangan lagi. Seperti contohnya, orangtua tidak cukup hanya memberikan anaknya itu untuk belajar disekolahnya saja (belum puas dengan pengajaran guru di sekolahnya), tetapi malah orangtua menyuruh anaknya untuk les dengan guru yang berbeda.”

Menurutnya, murid-murid sekarang ini sangat kompleks. “Guru itu sebagai fasilitator. Kalau dahulu itu guru asal lebih pintar dari muridnya itu berimbang, dan sekarang ini guru berfungsi memfasilitasi. Les-lesan itu boleh sepanjang itu mengembangkan dan pembelajaran itu berkembang baik. Konsekuensi utamanya ya harus mengefektifkan dalam pembelajarannya,” lanjutnya.

“Jadi kalau bisa itu, dalam pembahasannya harus menarik dan menyenangkan, menantang, memberikan pengalaman sukses, serta mengembangkan kecakapan berfikir. Jadi jangan sampai overload kalau pas ada tambahan les,” paparnya.

Proses pembelajaran, lanjut Furqon, harus dapat mendorong anak untuk mengembangkan sendiri. “Sekali lagi, keefektifan mengajar itu harus dapat ditingkatkan,” tutupnya.

pendidikan.timlo.net

Kutipan SBY Jatuh Tempo

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mengejutkan publik dan meluruskan sikapnya soal pencalonan presiden RI 2014. Dalam kuliah umum Indonesia Young Leaders Forum 2011 di Jakarta, Kamis (9/6), SBY dalam pembukaan kuliahnya menyatakan dirinya dan keluarga tidak akan maju dalam Pemilu Presiden 2014.
Berikut kutipannya:

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati para Menteri, para Anggota DPR RI, dan para Anggota DPD RI, Saudara Gubernur DKI Jakarta, Saudara Ketua Umum HIPMI, para Sesepuh dan Senior HIPMI, Saudara Ketua dan para Anggota Komite Ekonomi Nasional, Saudara Dekan Fakultas Ekonomi UI beserta para Guru Besar UI, para Pimpinan Dunia Usaha, baik BUMN maupun swasta, para Tokoh dan Pemimpin Muda, Pemimpin Masa Depan, utamanya dari kalangan HIPMI yang saya cintai dan saya banggakan,

Sebelum saya menyampaikan ceramah tentang kepemimpinan sebagaimana yang dimintakan oleh Pimpinan HIPMI, sebagaimana tadi Ketua Panitia Penyelenggara memperkenalkan diri. Barangkali saya juga perlu memperkenalkan diri.

Nama saya, SBY. Jabatan saya, Presiden Republik Indonesia ke-6 hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Saya bukan Capres tahun 2014. Istri, saya ulangi, istri dan anak-anak saya juga tidak akan mencalonkan menjadi Presiden 2014. Saat ini saya juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi Capres 2014, biarlah rakyat dan demokrasi yang berbicara pada tahun 2014 mendatang. Setiap orang memiliki hak dan peluang untuk running for RI1. Atas dasar itulah Saudara-saudara, para Pemimpin Muda, saya menerima dengan baik Saudara Erwin Aksa untuk memberikan ceramah tentang kepemimpinan hari ini, on leadership.

Kalau tidak saya jelaskan dan saya perkenalkan siapa saya, dan keluarga saya, utamanya bukan menjadi Capres 2014, saya khawatir Saudara Erwin dan Saudara semua dicurigai oleh pihak-pihak yang kegemaran dan kebahagiannya bercuriga. Bisa-bisa Saudara dituduh jadi tim suksesnya SBY tahun 2014. Tahun 2014, saya tidak perlu tim sukses karena Insya Allah saya akan jatuh tempo.

Meskipun demikian Saudara-saudara, hampir pasti akan ada komentar yang negatif, serta gorengan, plintiran terhadap acara yang tebuka hari ini, tapi jangan khawatir, Allah Maha Mengetahui, rakyat juga punya hati. Jadi acara kita hari ini sah dan halal karena niatnya baik, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT memberikan rahmat, berkah dan ridho-Nya. Semoga pula para pemimpin muda, doa saya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga Saudara semua semakin sukses dalam karier dan profesi dan terus tumbuh menjadi pemimpin-pemimpin tangguh di negeri ini. Itu perkenalan dan pengantar saya.***

www.mediaindonesia.com/read/2011/06/09/232946/270/115/Ini-Kutipan-SBY-Jatuh-Tempo

Kamis, 02 Juni 2011

THE OUTLINE OF EVEN SEMESTER TEST / GRADE 7

THE OUTLINE OF EVEN SEMESTER TEST / GRADE 8

Third Semester Test Outline of Acceleration Class