NO WASTING TIME!

Rabu, 30 September 2009

Episode Cicak Vs Buaya

Episode Cicak Vs Buaya

Dimuat Koran Wawasan, Rabu 23 September 2009

Penetapan status tersangka terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menuai kecaman. Para aktivis, pegiat antikorupsi, dan sebagian besar masyarakat mengkritisi cara yang digunakan polisi untuk menjerat para pimpinan KPK. Di berbagai milis dan media massa, muncul tudingan adanya tindakan kriminalisasi KPK oleh aparat kepolisian.

Sikap reaktif yang secara nyata diperlihatkan sebagai dukungan kepada para pimpinan KPK bisa dimaklumi. Selama ini, para pimpinan KPK telah membuktikan komitmen mereka untuk tetap memberantas korupsi di bumi Indonesia. Belum 10 tahun lembaga ini berdiri, KPK sudah memenjarakan puluhan pelaku korupsi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi seperti bankir, polisi, jaksa, pengacara, menteri, gubernur,wali kota,bupati,anggota DPR, pengusaha, sampai besan Presiden SBY.

Makin garang KPK, makin kuat pula upaya untuk mengerdilkannya. Itulah yang terjadi saat ini. Selain dua wakil ketua, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan polisi sebagai tersangka, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengamputasi kewenangan KPK menuntut para koruptor. Para wakil rakyat itu menyerahkan kembali tindakan penuntutan kepada Kejaksaan Agung. Padahal, rakyat pun mafhum, justru di tubuh badan itu pula terjadi praktik koruptif dan kolutif, sebagaimana pernah diungkap KPK.

Tragisnya, di saat serangan datang bertubi-tubi, Ketua KPK Antasari Azhar diduga terlibat pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Kasus ini diduga adanya konspirasi besar yang tampaknya hanya bermotifkan asmara tersebut. Tak hanya itu, dia juga menemui buron sekaligus tersangka kasus korupsi, Direktur Utama PT Masaro Anggoro Widjojo. Kemudian ia juga membuat testimoni yang menyebutkan beberapa pimpinan KPK diduga telah menerima suap Anggoro Widjojo.

Ada yang beranggapan bahwa apa yang sedang terjadi sat ini adalah episode “cicak “ (KPK) melawan “buaya” (Polri). Sekilas terlihat benar. Di sana ada perebutan kewenangan penyidikan. Di sana juga ada pertarungan saling menjatuhkan. KPK menangkap percakapan telepon antara Komjen Susno Duadji dan pihak lain yang berindikasi transaksional untuk pencairan dana di Bank Century. Di sisi lain, polisi menemukan sejumlah hal yang mencurigakan di tubuh KPK.

Dua pimpinan KPK itu “Cuma” dituduh penyalahgunaan wewenang, yakni karena mencekal Anggoro (tersangka korupsi oleh KPK) dan mencabut cekal Joko Tjandra (dalam kasus Artalyta Suryani, bukan dalam kasus cessie Bank Bali). Masalahnya, pemanggilan dan pemeriksaan para pimpinan KPK ini terjadi setelah sebelumnya sempat muncul kontroversi. Mencuatnya pertarungan “cicak vs buaya”yang dilontarkan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duaji menjadi pangkal kontroversi. Dalam sebuah wawancara di media massa, Susno tidak menyebut siapa cicak yang dia maksud dan siapa buayanya. Namun, banyak pihak yang mengartikan cicak sebagai KPK dan buaya sebagai polisi.

Gugatan yang diajukan sejumlah pihak tentang kewenangan KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), sikap reaktif anggota DPR merespons penahanan rekan-rekannya hingga munculnya fenomena “cicak vs buaya” merupakan contoh-contoh konkret pelemahan KPK. Karenanya, saat masih menjabat sebagai Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki sudah mengingatkan tentang munculnya fenomena corruptor fight back, yakni fakta di mana tokoh-tokoh yang popularitasnya hancur melakukan berbagai cara untuk melumpuhkan dan mematahkan upaya pemberantasan korupsi KPK.

Sebagai institusi penegak hukum kejaksaan, kepolisian, dan KPK termasuk pula kehakiman seharusnya seiring sejalan sesuai “porsi” dan kewenangannya masing-masing. Memang, hukum juga berlaku untuk penegak hukum itu sendiri. Tidak ada yang kebal. Hanya saja, tontonan yang diperlihatkan kepolisian dan KPK sekali lagi sangatlah menyesakkan dada warga negeri ini yang menginginkan mereka bersatu memberantas segala praktik korupsi. Jika mereka terus “perang” secara terbuka, tentu kredibilitasnya akan turun. Kepercayaan masyarakat pun bakal melemah.

Secara institusional, semestinya pertarungan antara lembaga negara, terutama di bidang penegakan hukum, tidak perlu terjadi. Sebab, KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah satu kesatuan sistem (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Hal itu diatur dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 bahwa KPK bisa melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi.

Begitu juga, secara teknis penyidik di KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan. KPK bisa maju dan gesit karena SDM-nya adalah kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, mereka sebenarnya harus saling bersatu dan mendukung sehingga keberhasilan pemberantasan korupsi segera menunjukkan hasil. Dari sisi ini, sebenarnya tidak perlu terjadi kecemburuan, apalagi conflict of interes, antarlembaga. Kepolisian dan kejaksaan tidak perlu merasa dikecilkan dan disisihkan. Kegesitan KPK untuk menangani korupsi sebaiknya menjadi kebanggaan kita bersama sebagai bangsa dan kebanggaan antarlembaga penegak hukum (Jabir Alfaruqi, 2009).

Dalam kasus ini sesungguhnya ada dua masalah yang harus ditangani, yakni dugaan suap Masaro terhadap pejabat KPK dan suap Bank Century terhadap pejabat Polri. Kita mendukung kasus itu sama-sama diungkap. Tidak peduli apabila melibatkan pejabat KPK maupun Polri. Silakan usut saja kasus itu secara transparan agar publik mengetahui siapa sesungguhnya pejabat yang terlibat dalam dua kasus itu.

Kita tidak ingin kasus Masaro tertutup kasus Century, karena ada pejabat KPK yang diperiksa atau dijadikan tersangka oleh Polri. Begitu juga sebaliknya, kita tidak ingin kasus Century tertutup kasus Masaro, karena ada pejabat Polri yang diperiksa atau ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dalam konteks lain, kita juga mendukung langkah KPK yang akan menyelidiki dugaan keterlibatan oknum “SD” dalam dugaan penyalahgunaan wewenang terkait penanganan kasus Bank Century. Apa yang sedang terjadi saat ini,sejatinya,dapat dilihat sebagai sebuah proses penegakan hukum ke arah profesionalisme.

Kita mendukung aspirasi yang diperjuangkan untuk menolak cara-cara kriminalisasi yang bermaksud melemahkan institusi KPK. Sudah saatnya, kita semua peduli dan menolak upaya pelemahan KPK. Sampai kapan pun lembaga ini harus eksis untuk memberantas praktik korupsi seperti yang sudah dilakukan selama ini.

Kita juga menagih janji dan sikap kenegarawanan Presiden SBY dalam hal pemberantasan korupsi sebagai agenda utama semasa kampanye Pemilu 2009. SBY harus punya komitmen kuat untuk memberantas tindak kejahatan atas uang negara tersebut. Negara jangan kalah dengan koruptor.

0 komentar: