NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Antasari, KPK, dan pemberantasan korupsi

WAWASAN / Friday, 15 May 2009

UNTUK kesekian kalinya, publik Indonesia tersentak dan terhenyak oleh berita menghebohkan. Adalah Ketua KPK, Antasari Azhar, yang kali ini menjadi aktor utamanya. Kali ini, bukan torehan prestasi hebatnya menangkap koruptor kelas kakap negeri ini, namun perihal keterlibatannya dalam pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin Zulkarnaen. Antasari sudah diberhentikan sementara sebagai Ketua KPK karena berstatus tersangka.

Kasus ini tergolong luar biasa karena selama ini Antasari Azhar dikenal sebagai sosok Ketua KPK yang sangat brilian dan berprestasi mengungkap kasus-kasus korupsi di Tanah Air. Namun, dugaan sebagai dalang intelektual dan status tersangka yang kini disandangnya seakan mempertegas keterlibatannya (walau harus dibuktikan secara hukum) atas peristiwa menghebohkan ini.

Memang, harus diakui bahwa munculnya kasus ini telah mendegradasi tingkat kepercayaan publik terhadap KPK. Lembaga ini mampu menjaga integritasnya di tengah rontoknya integritas lembagalembaga penegak hukum lain. Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya yang lahir usai reformasi.

Ini disebabkan keterlibatan para pimpinan lembaga tersebut dalam tindak pidana. Tercatat, sampai saat ini, ada tiga komisi negara yang pimpinannya tersangkut persoalan hukum. Pertama, kasus suap yang melibatkan salah satu komisioner Komisi Yudisial, Irawadi Joenoes. Kedua, kasus suap yang melibatkan salah satu komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M Iqbal, dan terakhir kasus yang melanda pimpinan KPK, Antasari Azhar.

KPK jelas sangat direpotkan dengan sorotan terhadap Antasari. Apalagi dia pernah menangkap jaksa, anggota DPR, pengusaha, dan banyak pejabat, bahkan besan Presiden SBY. Ketika kasus ini terungkap, kesannya seperti ada semacam hipokrisi yang terbongkar. Orang bisa makin sinis terhadap penegakan hukum dan makin tak percaya kepada lembaga negara. Meski kondisi ini berat bagi KPK, institusi komisi antikorupsi itu harus diselamatkan.

Bagi para koruptor, kinerja KPK menjadi ancaman tersendiri. Ruang gerak mereka menjadi terhambat. Nama besar mereka terpuruk dan keluarga mereka harus menanggung aib seumur hidup. Makanya, tak salah jika sejak jauh-jauh hari mantan Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki telah mengingatkan kemungkinan munculnya perlawanan balik dari para koruptor.

Perlawanan terhadap eksistensi KPK dilakukan secara terstruktur dan masif. Jika dulu dengan cara melakukan judicial review UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), sekarang upaya memangkas kewenangan KPK dilakukan lewat revisi UU yang sama di DPR. Selain perlawanan lewat cara-cara konstitusional, tentunya perlawanan juga dilakukan dengan menyerang pribadi pimpinan KPK. Bisa jadi Antasari masuk dalam skenario mendeligitimasi KPK. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, kekuasaan itu sangat rentan dengan godaan harta, tahta, dan wanita.

Kasus yang menimpa Antasari semestinya tidak mengurangi ketajaman pedang lembaga KPK dalam pemberantas dan penindakan korupsi di negeri ini. Kita berharap bahwa para wakil ketua (M Jasin, Chandra M Hamzah, Haryono Umar, dan Bibit Samad Riyanto) yang memegang kendali KPK secara bergantian itu, tetap saja maju dan terus menegakkan kebenaran di tengah berbagai adu kepentingan dan tarik ulur yang menghantam lembaga ini. Para komisioner tersisa KPK harus mampu memilah dan memilih isu penting bagi pemberantasan korupsi.

Situasi dan kondisi seperti sekarang, justru merupakan saat yang tepat bagi KPK untuk membuktikan bahwa pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Lembaga ini harus bersih dari oknum-oknum yang diduga terkait tindakan kriminal. KPK juga perlu membuktikan pemberantasan korupsi tak akan pernah terganggu. Ini untuk memulihkan, meyakinkan, dan meraih kembali kepercayaan publik. Itu dapat dilakukan dengan mengungkap kasus-kasus korupsi baru yang bernilai tinggi dan strategis. Misalnya mengungkap kasus judicial corruption di lingkungan kejaksaan, kepolisian, atau kehakiman.

Kita mencatat ada satu prestasi KPK yang menonjol dalam dua tahun terakhir. Yaitu pengungkapan kasus penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani terhadap Jaksa Urip. Kasus ini masih terkait dengan isu megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pengungkapan kasus ini bukan hanya soal suap, tapi juga pertama: mampu membuka tabir dan mengukuhkan tentang luas dan dalamnya praktik mafia peradilan dalam sistem peradilan kita. Kedua, membuka tabir maraknya korupsi peradilan dalam sistem hukum kita.

Selain itu, langkah lain yang bisa dikembangkan adalah mempercepat proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang sedang ditangani. Kasus korupsi besar yang bisa segera diselesaikan, seperti: kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ke DPR, menteri, dan sejumlah bekas pejabat teras BI, kasus BLBI yang diduga ada keterlibatan jaksa Kemas Yahya Rahman dan M Salim, skandal pembagian cek dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom kepada sejumlah anggota DPR.

Dalam konteks penuntasan kasus- kasus korupsi itu, KPK jangan terpengaruh intervensi dari lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pemerintah juga harus membantu menjaga reputasi KPK untuk menegakkan hukum. Sebaliknya, jangan sampai kasus Antasari itu justru dimanfaatkan sebagai tameng untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kasus yang jauh lebih besar. Yakni, belum tuntasnya penanganan kecurangan dalam pemilihan umum legislatif 2009 lalu.

Di masa-masa yang akan datang, progres pemberantasan korupsi akan semakin bertambah, dan pada gilirannya akan mampu meminimalisir terjadinya korupsi lanjutan. Kita memang amat prihatin melihat masih banyak kasus korupsi di negeri ini. Langkah demi langkah yang telah diupayakan bersama, sepertinya mendapat tantangan sekaligus ujian yang cukup berat. Hal ini terbukti dari semakin kencang tiupan akan pemberantasan korupsi oleh KPK dan institusi penegak hukum lainnya, pada saat yang sama kasuskasus korupsi semakin marak terjadi.

Ke depan, semangat baru, langkah baru, perobahan baru dalam upaya pemberantasan kasus-kasus korupsi harus digelindingkan. Semuanya kekuatan, harus bersinergi. Dengan demikian, kasus-kasus korupsi baru tidak sampai terjadi. Sementara kasus-kasus lama telah diusut tuntas. Kemudian, jika pemerintah dan aparat penegak hukum berhasil mengatasi korupsi, maka dampak nyatanya bagi pembangunan masa depan bangsa akan sangat nyata.

Kasus yang dialami oleh ketua KPK nonaktif biarlah diselesaikan dengan baik. Hukumlah yang berbicara. Tak perlu dipolitisasi. Namun, gerakan pemberantasan korupsi harus tetap dikerjakan. KPK adalah lembaga yang secara khusus diciptakan untuk melakukan terobosanterobosan baru dalam upaya memberantas korupsi yang sudah dianggap sebagai sebuah penyakit pada tubuh bangsa ini. KPK harus terus bekerja bagi negeri ini dalam mengungkap tindak-tanduk para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat Indonesia. hf

Sutrisno
Guru SMPN 2 Karangtengah
Wonogiri

0 komentar: