NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Mengungkap Skandal Bank Century

Mengungkap Skandal Bank Century

Dimuat Harian Joglosemar Kamis, 3 September 2009

Sungguh mengherankan sekaligus mengagetkan, persoalan keuangan yang mirip skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dikhawatirkan kembali terjadi. Hal ini menyangkut upaya penyelamatan Bank Century yang mendapat kucuran dana talangan (bailout) Rp 6,77 triliun.

Sejak diambil alih pemerintah melalui Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) pada 24 November 2008, Bank Century yang merupakan bank hasil merger Bank Pikko, Bank CIC International, dan Bank Danpac, telah digerojoki hingga Rp 6,77 triliun. Padahal DPR hanya menyetujui Rp 2,77 triliun. Namun, faktanya dana talangan mengalir Rp 4 triliun lagi.

Adanya selisih yang cukup besar ini jelas mengundang tanda tanya. Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berupaya menjelaskan duduk perkaranya, namun ternyata tidak sejalan. Polemik di antara keduanya pun menyeruak tak terhindarkan.

Menurut Sri Mulyani, keputusan bailout itu didasarkan pada hasil laporan BI mengikuti aturan hukum yang berlaku. Di dalam UU tentang LPS dan Perppu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), dimandatkan langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini Menkeu, BI, maupun LPS. Namun, Jusuf Kalla membantah kronologi kucuran siluman Rp 4 triliun versi Sri Mulyani. Wapres malah menegaskan, persoalan Bank Century merupakan tindak kriminal murni berupa perampokan akibat lemahnya pengawasan Bank Indonesia.

Banyak yang harus diurai dan diungkap agar tidak menjadi skandal. Misalnya soal kebenaran prosedural untuk melakukan kebijakan pemberian dana talangan serta keputusan untuk menyatakan Bank Century sebagai bank yang gagal dan berpotensi sistemik. Seberapa pentingkah Bank Century sehingga harus diselamatkan dengan biaya LPS berani mengatakan “siap rugi” demi menyelamatkan Century. Harus pula ditelusuri, penggunaan dana penyelamatan tersebut. Apakah murni untuk memperkuat struktur permodalan Century sehingga bisa dikategorikan sebagai bank sehat, atau mengalir ke pihak-pihak lain.

Untuk mengusut kekisruhan ini, baik KPK maupun DPR telah meminta BPK melakukan audit investigasi guna mengetahui halal-haramnya kucuran tersebut, menelusuri aliran dana, dan siapa-siapa yang menikmatinya, siapa yang sebenarnya ingin diselamatkan, dan mengapa membengkak dari proposal awal Rp1,3 triliun menjadi Rp6,7 triliun?

Tetapi yang lebih penting lagi, Badan Pengawan Keuangan (BPK) harus mampu membuktikan kebenaran atau kejujuran argumentasi BI yang disampaikan kala itu dan kenyataannya, dan membeberkan siapa-siapa pejabat BI atau pemerintah yang gigih menjadi sponsor atau memperjuangkan “penyelamatan” Bank Century.

Kasus tersebut memang mengingatkan kita pada kasus BLBI. Kasus yang menyedot uang negara sampai dengan Rp. 600 triliun itu awalnya didisain untuk menyelamatkan perbankan Indonesia. Alasan “sistemik” digunakan oleh pemerintah kala itu. Nyatanya bank-bank terus berguguran, dan kebijakan yang kemudian membangkrutkan Indonesia itu sampai sekarang terbukti tidak pernah berhasil. Berkali-kali para pemilik bank yang kemudian kebanyakan kabur itu menjadi tersangka, tetapi kemudian kekayaan negara yang dibawa tidak pernah dapat dikembalikan.

Skala kerugian yang diakibatkan oleh Bank Century ini memang jauh lebih kecil. Tetapi kalau cara-cara menyelamatkan perbankan juga tidak memegang prinsip kehati-hatian, bukan tidak mungkin perbankan Indonesia akan mengalami kembali masa suram. Pemerintah seharusnya memegang prinsip kehati-hatian di dalam menyelamatkan perbankan ini.

Pasca penetapan rasio kecukupan modal (CAR), bank memang diminta untuk lebih ketat di dalam mengelola keuangannya. Bank diminta untuk benar-benar menggunakan modal yang ada untuk disalurkan kepada pihak yang benar-benar berkepentingan kepada kredit, dan bukan kepada pemiliknya. Karena itu seharusnya pemerintah bersikap tegas saja. Selama ini pemerintah selalu saja berperan sebagai dewa penolong yang mencoba memberikan apa saja, termasuk menalangi uang yang digunakan secara sewenang-wenang oleh para pemilik perbankan. Karena itulah kemudian terjadi penyalahgunaan kekuasaan perbankan yang merugikan negara, seperti contoh Bank Century tadi.

Amat disesalkan bahwa di era yang sangat transparan ini, pengelolaan keuangan sampai menghasilkan kasus seperti Bank Century, yang kemudian belakangan ketahuan membutuhkan suntikan dana yang tidak sedikit. Itu berarti pemerintah di dalam menaksir kerugian bank itu tidak menggunakan asumsi yang baik, atau pihak perbankan memang sudah melakukan penipuan terhadap laporan keuangan mereka.

Sependapat dengan pendapat Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier (Sindo, 2/9/2009), seharusnya pemerintah tidak ragu melikuidasinya. Meskipun mungkin sedikit ada guncangan jangka pendek, tetapi tidak merongrong dana LPS (yang modal awalnya dari APBN) dan menolerir kriminalitas dalam dunia perbankan, yang merupakan bisnis kepercayaan yang harus taat undang-undang.”Penyelamatan” BC semestinya tidak dilakukan karena sejak awal patut diketahui akan merugikan keuangan negara (LPS).Buktinya,setelah BC dinyatakan keluar dari pengawasan khusus dan dinyatakan normal kembali oleh BI pada 29 April 2009, dalam 3 bulan kemudian (Juli 2009), LPS masih harus menggelontorkan lagi Rp630 miliar.

Kini, kita, publik, hanya menunggu keseriusan pemerintah dan semua pihak terkait untuk benar-benar mengurai dan mengungkap skandal Bank Century. Semua pihak tak perlu panik dan menuding membabi buta. Yang jelas, semua pihak yang terkait dengan pengucuran dana di bank ini harus bertanggung jawab. Kita menunggu langkah KPK, BPK, dan Kepolisian menuntaskan skandal Bank Century.

Kita juga berharap agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR melakukan langkah-langkah yang mampu mencegah terjadinya skandal BLBI jilid II dan menuntaskan skandal BI sebelumnya. Kalaupun tidak ada permainan, tetap harus diupayakan agar keuangan negara bisa dijaga dengan tingkat keamanan yang tinggi dan tidak jebol lagi.

0 komentar: