NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Banalitas Label Internasional

Wacana

SUARA MERDEKA / 10 Agustus 2009

Banalitas Label Internasional

SEKOLAH bertaraf internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berdasarkan standar pendidikan nasional (SPN) Indonesia dan taraf internasional atau disebut juga sekolah nasional bertaraf internasional. Kurikulum yang digunakan tetap kurikulum nasional, tetapi nasional plus X. X di sini adalah penguatan, pengayaan, perluasan, pendalaman, penambahan, dan pengembangan terhadap SPN dengan standar internasional. Plus X termasuk penguasaan Information Communication Technology (ICT). SBI merupakan bentuk kesiapan masa depan bangsa dengan membekali siswa menghadapi tantangan global yang multi kompetisi.

Pelaksanaan SBI ini merupakan amanat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 50 Ayat (3) UU 20/2003 itu disebutkan, pemerintah dan/ atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Hal ini dalam rangka menyongsong era globalisasi.

Sekarang wacana sekolah berlabel internasional berkesan dijadikan komoditas jasa pendidikan sebagai alat untuk menaikkan biaya sekolah, dengan klaim lebih tinggi mutunya dibanding sekolah biasa atau nasional.

Di sini perlu dicari definisi. Setidaknya konsep awal sekolah yang diberi embel-embel internasional. Masyarakat atau orang tua juga perlu tahu, misalnya standar apa bisa dipakai kriteria sekolah bertaraf internasional? Dari lembaga mana akreditasi sekolah tersebut dan spektrum apa saja yang bisa dimaknai internasional sehingga kriterianya jelas untuk mendapat predikat bertaraf internasional?
Lokal dan Global Dalam panduannya, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tentang panduan KTSP sub bab Komponen KTSP bagian B poin 7a hanya menjelaskan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global sebagai berikut: pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain. Semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.

Dengan demikian, istilah global yang mungkin disamakan dengan istilah internasional masih mengandung konsep yang masih abstrak. Label internasional cenderung hanya didasarkan pada penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris. Jika ini yang terjadi maka sekolah akan terjebak pada makna dangkal istilah sekolah internasional. Lebih berbahaya lagi jika dijadikan dalih menarik biaya mahal.

Bisakah sebuah jurusan bahasa Inggris atau kursus bahasa Inggris diklaim sebagai sekolah bertaraf internasional meskipun lokasinya mungkin masih menyewa gedung ala kadarnya? Tetapi jika sarana prasarana sebagai justifikasi label internasional maka fasilitas apa yang mengandung makna internasional? Bukankah sekolah biasa berhak mendapat penyediaan berfasilitas internasional dari Diknas? Adakah kesepakatan definisi fasilitas atau benda apa bisa dirujuk sebagai makna atau lambang internasional?

Oleh karena itu, ada beberapa jalan untuk ditempuh jika ada keluhan dari pihak orang tua atau masyarakat terhadap dampak kebijakan sekolah yang berlabel internasional. Pertama, berilah paparan tentang konsep internasional. Jangan label tersebut dijadikan instrumen pembuat kebijakan biaya serba mahal lalu masyarakat jadi objek penderita.

Kedua, jelaskan siapa pemberi akreditasi sehingga sekolah tersebut berhak mendapat predikat internasional! Lembaga apa dan ada di mana posisinya? Ketiga, jika ada benchmark , yaitu sekolah yang bisa dirujuk sebagai pembanding untuk dijadikan patokan bermutu internasional, maka tunjukkan tempat sekolah tersebut agar masyarakat bisa memutuskan bahwa sekolah tersebut layak berstandar sekolah internasional.

Dengan pemahaman yang sama oleh pihak sekolah dan masyarakat atau orang tua terhadap makna internasional, niscaya tidak timbul ekses negatif akibat asimetri informasi di masyarakat tentang SBI. Selain itu, kita juga merindukan SBI yang tidak eksklusif, profesional, relatif murah dan terjangkau masyarakat. (80)

—Sutrisno , SPd,Guru SMPN 1 Wonogiri

0 komentar: