NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Membudayakan kirim parcel untuk si papa

Harian Solopos / Edisi : Sabtu, 12 September 2009 , Hal.4
Membudayakan kirim parcel untuk si papa

Setiap menjelang Idul Fitri, selalu muncul kontroversi di sekitar parcel, yakni bolehkah para pejabat negara/pemerintah menerimanya. parcel ini biasanya berupa bingkisan yang dibungkus dengan sangat indah.

Isinya bisa macam-macam. Dari makanan kaleng, pakaian, perabot rumah tangga, kristal, voucher belanja di mal-mal tertentu hingga kunci mobil. Tidak lupa disertakan pula kartu nama si pengirim selain ucapan ”Selamat Idul Fitri”.
Berkaitan dengan parcel, Walikota Solo Joko Widodo sudah menegaskan bahwa seluruh PNS tidak boleh menerima parcel Lebaran. Wonogiri juga mengimbau pejabat di lingkungan Pemkab tak menerima bingkisan. Sejak 2004, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melarang pemberian parcel untuk pejabat karena termasuk gratifikasi.
Berdasarkan UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, Pasal 12B menyebutkan yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan lain-lain. Pemberian itu diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dilakukan dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronika .
Ancaman pidana dalam ketentuan tersebut ditujukan kepada pemberi maupun kepada penerima. Apabila dalam kurun waktu 30 hari penerima melapor kepada KPK soal gratifikasi maka si penerima tidak dikenai pidana.
Bagaimana bila parcel itu tidak dimaksudkan sebagai suap, tapi sebagai tanda terima kasih? Misalnya parcel yang diberikan kepada guru atau pejabat-pejabat yang kecil peluangnya untuk berbuat korupsi? Atau, bagaimana bila parcel itu dalam bentuk buku-buku pelajaran agama?
Tentu boleh-boleh saja. Namun, yang harus diingat antara suap dan terima kasih jaraknya sangat tipis, sangat tidak terlihat. Karena itu, alangkah baiknya bila parcel untuk para guru dan profesi semacamnya diberikan setelah murid-murid menerima rapor.
Sedangkan bingkisan parcel yang berupa buku-buku pelajaran agama tentu sangat terpuji, apalagi bila buku-buku itu berisi hal ihwal pemberantasan korupsi, seperti yang banyak diterbitkan oleh KPK.
Dalam analisis politik, pemberian parcel bukanlah pekerjaan tanpa pamrih, selalu ada maksudnya, terutama parcel yang diberikan kepada para pejabat, terdapat maksud dan tujuan yang beragam.
Memang ada yang ikhlas, tetapi juga sangat banyak yang mempunyai maksud tertentu di balik bingkisan tersebut. Bahwa terdapat derajat tertentu dalam pemberian parcel yang beraroma dan mengundang naluri KKN. Apalagi pengiriman parcel tersebut berasal dari pihak berposisi sosial ekonomi yang rendah kepada yang tinggi.
Parcel selama ini senantiasa berkorelasi dengan pemberian dari bawahan ke atasan, atau dari si pencari proyek ke pemberi proyek, dari pejabat BUMN ke pejabat departemen yang membawahi, atau dari pihak yang membutuhkan ke pihak yang bakal mencukupi kebutuhan.
Sangat jarang kita jumpai parcel dikirim dari menteri tertentu ke bawahannya setingkat dirjen atau pejabat BUMN, atau dari atasan ke bawahan, dari pemilik/pemberi proyek ke penerima proyek. Atau parcel dikirim dari orang-orang kaya ke orang-orang miskin di sekitarnya. Fenomena semacam itu sangat langka.
Ada motivasi individu yang kuat bagi seseorang pengirim parcel. Dalam kerangka berpikir rational choice (pilihan rasional) yang menerapkan metode behaviour (perilaku), harus ditelaah motif di balik perilaku individu baik pengusaha maupun aktor birokrasi dalam membuat keputusan dan implementasinya.
Asumsi utama pendekatan rational choice, bahwa individu membuat pilihan tidak dapat melepaskan diri dari tujuan untuk mengejar kepentingan pribadi. Diperkuat dengan tulisan Grindle (1989:19) sebagaimana yang dikutip Syarif Hidayat bahwa dalam upaya mewujudkan pencapaian berbagai tujuan, seseorang akan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki sebagai alat negosiasi untuk mendapatkan sumber daya yang dikontrol oleh pihak lain.
Melenceng
Pemberian parcel telah melenceng dari akar budaya masyarakat, terutama tradisi Islam. Bahkan, parcel telah menjadi manipulasi kapitalisme terhadap nilai-nilai agama. Saya sepakat dengan KPK bahwa budaya pemberian terhadap pejabat harus dibabat dari sekarang. Logikanya, pemberian parcel akan mempergunakan anggaran. Akibat dari pengurangan anggaran tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada masyarakat.
Larangan menerima parcel mengundang pertanyaan bukan hanya urgensinya tetapi manfaat pemberian parcel itu untuk para pejabat, khususnya dalam konteks silaturahmi dan kemanusiaan. Belum lagi kita mempertanyakan bagaimana implementasi, efektivitas kontrol dan pengawasannya? Agar kebijakan itu tidak mirip harimau tanpa taring.
Pemberian parcel dengan berbagai pembatasannya, selayaknya dimaknai sebagai isyarat penting dari KPK agar pejabat lebih introspeksi diri. Langkah apapun yang dilakukan jika arahnya menjerumuskan aktornya pada perilaku KKN tentu memberikan pengaruh buruk. Bukan hanya pada aktor itu sendiri tetapi juga pada sistemnya.
Kerisauan KPK pada benih-benih korupsi yang tumbuh subur, mengharuskan langkah konkret (exit strategy) untuk membasminya. Meski disadari hal tersebut tidak cukup kuat untuk membendung laju korupsi dengan sekian banyak strateginya. Tetapi sebagai gerakan moral dan kultural tentu sangat signifikan mempengaruhi perilaku publik, dan itu perlu mendapat dukungan. Pejabat KPK juga harus menolak jika menerima kiriman parcel.
Sebaiknya, kita membudayakan mengirim parcel pada kaum papa tak berpunya (fakir miskin, pengasong, anak putus sekolah, korban PHK, pengangguran dan lain-lain) tanpa mengenal identitasnya. parcel juga bisa diarahkan sebagai bentuk kepedulian terhadap korban bencana. Dan uang pembelian parcel itu harus berasal dari dana yang bisa dipertanggungjawabkan. - Oleh : Sutrisno Guru SMPN 1 Wonogiri

0 komentar: