NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Menghapus kekerasan pada anak

WAWASAN / Thursday, 23 July 2009

TANGGAL 23 Juli 2009 ini kita kembali memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Dalam memperingati HAN, kita pantas prihatin. Mengapa? Sebab, potret situasi dan ragam pelanggaran hak anak-anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Ragam pelanggaran yang dialami anakanak Indonesia menegaskan hak hidup anak sebagai bagian integral dari hak asasi manusia telah terbiarkan (omission) tanpa penanganan dan solusi. Data kejahatan dan tindak kekerasan terhadap anak yang terlapor di Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) menunjukkan ragam dan angka yang sangat membutuhkan pertolongan sikap politis dan yuridis dari semua pihak, terutama masyarakat dan pemerintah.

Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat. Data dari Komnas Anak mencatat, pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak sebanyak 40.398.625 kasus. Jumlah itu melonjak drastis hingga 300 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan yang masuk dari 30 provinsi ke lembaga tersebut.

Kasus pelanggaran hak anak meliputi kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perdagangan anak, dan pendulikan. Ini sangat mengkhawatirkan. Kekerasan secara fisik dan psikis pada anak yang terjadi merupakan fakta yang tidak bisa lagi disembunyikan. Data Komnas Anak menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Di kalangan menengah ke bawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan. Di kalangan menengah ke atas, karena ambisi orangtua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah, di masyarakat, termasuk selebritis cilik agar bisa tampil di televisi. Faktor penyebab lainnya adalah terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar di lingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 persen tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan.

Anak adalah penerus perjuangan bangsa, yang menentukan nasib dan arah bangsa di masa akan datang. Maju dan mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas anak saat ini. Tidak berlebihan jika pemerintah bersama parlemen mengeluarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ini pertanda keseriusan negara dalam permasalahan anak, sebagai tindak lanjut dari konsekuensi Indonesia yang turut meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) melalui Keppres RI No 36/1990.

Secara singkatnya ada empat jenis hak dasar anak meliputi; hak hidup, hak untuk tumbuh dan kembang secara optimal, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.

Dan semestinya, negara dalam tanggung jawabnya secara politis dan yuridis yang diamanatkan konstitusi dasar, tidak membiarkan dan menyerahkan begitu saja tanggung jawab perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak anak kepada masyarakat dan keluarga. Padahal, berdasarkan Ratifikasi Konvensi PBB tentang hak anak, Indonesia sebagai negara pihak (state party), berkewajiban bahkan terikat secara yuridis dan politis melakukan langkah- langkah strategis guna menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak tanpa diskriminasi di seluruh wilayah hukum Indonesia.

Berdasarkan fakta dan data di atas, maka untuk menghapus kekerasan anak dan pelanggaran hak anak di masa datang, semua pihak sebagai tanggung jawab berbangsa dan bernegara patut terus mendorong pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Pertama, menjauhkan budaya kekerasan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua, menjadikan Program Perlindungan Anak di Indonesia sebuah program prioritas bagi pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, pelaksanaan UU Perlindungan Anak dan Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.

Ketiga, mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembiaran dan impunity atas pelanggaran hakhak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.

Keempat, penegakan hukum (law enforcement) oleh aparat berwenang agar menjadi efek jera bagi pelaku tindak kekerasan pada anak. Karena itu, peran berbagai pihak untuk turut memonitor tindak kekerasan pada anak sangat diperlukan demi efektivitas dan efisiensi pemberlakuan serta pelaksanaan hukum yang berlaku tentang perlindungan anak dan peradilan anak.

Kelima, kerjasama lintas lembaga dan program. Kemitraan yang sejajar dan kondusif merupakan syarat suksesnya sebuah agenda. Permasalahan anak tidak bisa dibebankan pada satu lembaga saja. Ada beberapa institusi terkait di dalamnya. Koordinasi SDM dan program perlu segera dilakukan.

Keenam, menyediakan pelayanan publik yang komprehensif dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dan anak pada khususnya tanpa diskriminasi, dengan menyediakan sarana pendidikan dan kesehatan secara gratis bagi semua anak Indonesia tanpa terkecuali.

Ketujuh, mendorong pemerintah agar dengan segera menghentikan tayangan- tayangan kekerasan, mistik, pornografi, dan tayangan lainnya yang tidak mendidik bagi proses tumbuh kembang anak, serta pemerintah dan orang tua bertanggung jawab untuk memberikan arahan dan panduan kepada anak, karena mereka masih membutuhkan itu dalam proses evolusi kapasitas menjadi personal yang tidak lagi dependen dan menuju kedewasaannya.

Kedelapan, program terintegrasi. Anak bukan entitas tunggal dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga dan lingkungannya. Karena itu ada tiga ancangan pendekatan yang harus dilakukan: Intervensi terhadap permasalahan anak itu sendiri; Pemberdayaan keluarga (termasuk di dalamnya pemberdayaan perempuan; Pemberdayaan masyarakat secara luas. Mengutip Seto Mulyadi (2006), jika kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Karena para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh nuansa kekerasan.

Mereka telanjur gemar akan kekerasan sehingga akan menyelesaikan berbagai persoalan bangsanya dengan cara-cara penuh kekerasan.

Dulu ada motto, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Benar, karena kita tidak boleh melupakan sejarah masa lalu. Namun untuk membangun sebuah bangsa, kita juga tidak boleh melupakan persiapan untuk masa mendatang. Dan pemimpin bangsa kita di masa datang tidak lain adalah anak-anak masa kini. Anak-anak yang perlu diasuh dengan penuh cinta dan kasih sayang, bukan dengan cara kekerasan.

Untuk itu, agaknya kita perlu menambah motto: Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anakanak! Bangsa yang menghentikan kekerasan terhadap anak, sekarang dan untuk selamanya.

Sutrisno
peminat masalah sosial dan politik

0 komentar: