NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Cinderamata DPR yang Mencederai

Publihed in WAWASAN

Di penghujung masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009, publik dikejutkan oleh rencana pemberian cinderamata untuk 550 anggota. Tidak tanggung-tanggung, DPR telah menganggarkan kurang lebih Rp 5 Miliar. Hal ini diketahui dari surat (soft copy) pengumuman lelang yang bocor ke media. Dalam surat berkop “Bagian Perlengkapan Biro Umum, Sekretariat Jenderal DPR RI” dengan No. 521111/MUM/ARTK.110/03/ROUM/VI/2009 itu, tertulis nilai pagu anggaran sebesar Rp 4.974.200.000.

Adanya rencana pemberian cincin emas di penghujung periode, semakin melengkapi betapa tidak sensitifnya para anggota DPR terhadap penderitaan rakyat dan kondisi keuangan negara. Patut dipertanyakan, seberapa pentingkah pemberian cinderamata dimaksud? Adakah ini sebagai bagian dari upaya “penghargaan” atas apa yang sudah dikerjakan DPR selama ini? Ataukah ini sebagai kesempatan terakhir para anggota DPR yang kemudian tidak terpilih lagi untuk periode berikutnya, untuk meraup uang rakyat?

Banyak pihak kemudian menyatakan dengan tegas penolakannya atas rencana tersebut. Sebuah perencanaan yang tidak didasarkan pada kondisi dan prioritas utama. Betapa tidak, rencana itu semakin menambah citra buruk institusi DPR yang “konon” terhormat. Kinerja DPR dalam hal legislasi menjelang penghujung masa jabatannya, berbagai kasus percaloan, suap, dan korupsi yang melibatkan anggota DPR, nglencer, bolos sidang, serta hasil survei yang masih menetapkan DPR sebagai lembaga terkorup ternyata tidak memberikan efek jera yang memadai bagi lembaga perwakilan rakyat, anggota, maupun Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPR.

Rencana pemberian cinderamata berupa cincin emas atau apa pun dalam jumlah yang sedemikian besar juga telah menunjukkan DPR yang tidak memiliki hati nurani ketika keuangan negara dan kondisi rakyat tengah mengalami kesulitan. Cinderamata DPR hanya mencederai hati rakyat yang harusnya diperjuangkan kepentingannya. Selain itu, terlalu banyaknya tunjangan yang tidak jelas kaitannya dengan fungsi kedewanan memperburuk kondisi ini.

Seperti biasanya, DPR berdalih bahwa itu sudah dirapatkan antara pimpinan BURT dan pimpinan DPR serta telah dianggarkan dalam APBN 2009. Mengapa DPR selalu menjustifikasi keputusan yang mengundang kontroversi, termasuk dalam hal pengalokasian anggaran untuk cinderamata, di tengah kritik atas kinerja dan citra DPR selama ini?

Lebih menyakitkan lagi, ketika salah seorang anggota DPR di televisi menyatakan pengadaan cenderamata berupa cincin emas adalah wajar-wajar saja. Mereka malah membandingkan dengan direksi BUMN, para menteri, atau pimpinan lembaga lain yang juga melakukan hal serupa di akhir masa jabatan. Justru DPR harus mengikis habis tradisi semacam itu, karena memboroskan keuangan negara.

Hemat saya, ini melanggar aturan dan Kode Etik DPR. Jika benar terealisasi, rencana pengadaan cinderamata cincin emas Rp 5 miliar bagi anggota DPR di akhir jabatan bisa dikategorikan sebagai penyalahan penggunaan anggaran dan korupsi. Sebab, tidak ada payung hukum yang menaungi kebijakan tersebut. Di UU Susduk (Susunan Kedudukan) dan Tatib (Tata Tertib) DPR juga tidak ada diatur.

Di tingkat daerah pun, DPRD provinsi dan kota/kabupaten melakukan praktik pemberian uang pengabdian (pesangon). Padahal, PP No 24/2004 yang mengatur protokoler dan keuangan DPRD, menyatakan dengan jelas bahwa anggota dewan dilarang untuk memperkaya diri sendiri. Sehingga praktik pemberian semacam itu seharusnya dilarang, karena termasuk dalam upaya pemborosan keuangan pemerintah daerah.

Adalah sebuah pengkhianatan jika DPR terus melaksanakan rencana yang ditentang rakyat. Jika DPR yang melembagakan aspirasi rakyat melawan kehendak dan nurani khalayak, DPR kehilangan legalitas yang paling hakiki dari eksistensinya. Sebab, mereka duduk di parlemen justru untuk memperjuangkan kehendak dan nurani rakyatnya.

Pengkhianatan terhadap nurani publik bisa bertumbuh subur karena mentalitas korupsi yang mengakar dalam. DPR hanya berteriak tentang reformasi di lembaga lain, tetapi tidak mau mereformasi diri sendiri. Terlihat dengan sangat jelas ketika otoritas bujet DPR ditentukan sendiri, kerakusan tidak terbendung. Dan, seperti mudah diduga, kerakusan yang tidak mengenal malu itu dipicu kepentingan pundi-pundi individu di lembaga itu. Kalau sebuah proyek atau rencana yang tidak masuk akal tetap saja dijalankan, bisa ditebak muncul jaring-jaring konspirasi kerakusan. Salah satunya keterkaitan antara pemenang proyek dan pemegang otoritas.

Jika kebijakan ini benar-benar terealisasi, maka semakin tepatlah dugaan publik selama ini bahwa para pejabat negara, termasuk anggota DPR, hanya pintar memikirkan diri sendiri, namun lemah memperhatikan penderitaan rakyat. Rakyat yang hidupnya serba susah, diperhadapkan pada perilaku para pemimpin yang rakus akan fasilitas dan penghargaan berupa cenderamata. Cinderamata DPR hanya menjadi preseden buruk bagi lembaga parlemen, juga berimplikasi maraknya memanipulasi anggaran di tiap DPRD Provinsi dan kota/kabupaten. Jika rencana ini diteruskan, akan menjadi faktor yang memperburuk citra DPR yang sudah terpuruk saat ini. Maka, sebaiknya pengadaan cenderamata berupa cincin emas tidak boleh dilaksanakan alias dibatalkan.

Kita berharap, DPR hasil Pemilu Legislatif 2009 mampu menghapus budaya pemberian cinderamata pada masa akhir jabatan, termasuk di lembaga eksekutif dan BUMN. Upaya mengubah citra DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat memerlukan usaha keras, terpuji, dan teruji dari para anggotanya. Ini bisa dilakukan jika terus-menerus dipupuk semangat memperbarui dari para anggotanya terhadap DPR agar makin fungsional bagi pemenuhan aspirasi masyarakat dan penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Semoga.

0 komentar: