NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Teknologi dan Moral

published in Suara Merdeka 21/06/08

Oleh Sutrisno

Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia zaman sekarang. Bahkan dapat dikatakan, seluruh aspek kehidupan seperti bidang sosial, politik, dan ekonomi, telah bersentuhan dengan teknologi. Menurut Hans Jonas sebagaimana digambarkannya dalam buku The Imperative Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (1984: London), ada dua argumen mendasar mendasari keterkaitan teknologi dengan eksistensi manusia. Argumen pertama adalah posisi sentral manusia. Berbeda dengan Abad Pertengahan, di era modern eksistensi manusia menjadi pusat (antroposentris). Konsep bahwa manusia adalah subjek bagi dirinya sendiri diajarkan sebagai pandangan universal. Konsekuensi pemahaman itu ialah bahwa manusia menjadi penguasa atas dirinya dan alam semesta.

Paradigma antroposentris di atas menjadi pendorong bagi manusia modern untuk melakukan perubahan dalam segala aspek kehidupannya. Perubahan itu tidak saja berkaitan dengan paradigma berpikir, melainkan juga bersangkut-paut dengan pola hidup keseharian. Argumen kedua adalah kemajuan. Kemajuan merupakan ideologi manusia modern. Karena ideologi itu, manusia modern selalu berusaha untuk melawan status quo. Status quo dipandang sebagai musuh yang paling berbahaya karena menghambat kemajuan itu sendiri.

Dalam rangka mewujudkan kemajuan, teknologi memiliki peran penting. Jonas bahkan lebih jauh memperlihatkan bahwa teknologi sendiri merupakan simbol kemajuan yang paling dominan di era modern. Simbol-simbol itu terungkap dalam sarana-sarana yang digunakan. Ia bahkan melihat teknologi telah pula meningkatkan produktivitas yang sangat tinggi dalam bidang ekonomi global. Bagi konsumen teknologi telah membawa mimpi-mimpi baru, yakni mimpi untuk menikmati kehidupan yang lebih menyenangkan.

Tetapi ideologi kemajuan tidak terlepas dari masalah moral. Sekurang-kurangnya tiga masalah moral mendasar yang muncul dalam ideologi ini. Pertama, ketidakadilan sosial. Tidak semua orang bisa dan mampu bersentuhan langsung dengan teknologi canggih. Dengan kata lain, hanya segelintir orang yang mampu menggunakan teknologi.

Dampaknya, hasil-hasil teknologi juga hanya dapat dinikmati segelintir orang. Lebih lagi orang-orang seperti itu sering kali menggunakan teknologi sebagai alat untuk menguasai kelompok yang tidak memiliki akses terhadap teknologi. Dampaknya, jurang antara orang yang memiliki akses dengan teknologi dan orang yang sama sekali tidak memiliki akses, sangat dalam. Di sini justru terjadi ketidakadilan sosial. Dengan demikian teknologi berperan pula menimbulkan kesenjangan sosial.

Kedua, bangkitnya sifat utopis. Ide kemajuan yang digaungkan teknologi telah menyebar ke seluruh dunia. Tetapi bagi sebagian besar manusia di belahan dunia ini, khususnya di negara-negara yang berkembang, ide kemajuan itu hanyalah utopia, sebuah angan-angan belaka. Mereka bahkan dikondisikan oleh teknologi untuk mengingkari realitas hidup yang sebenarnya.

Ketiga, potensi deviasi fungsi teknologi. Seperti dikatakan di atas, di satu sisi teknologi telah memperbaiki kehidupan manusia modern, pada sisi lain teknologi memungkinkan tindakan kejahatan semakin cepat dan meluas. Melalui penyalahgunaan teknologi hal itu sangat dimungkinkan. Dan fakta sejarah telah memperlihatkan itu. Kita ingat serangan 11 September 2001. Peristiwa terbaru adalah apa yang menimpa Wakapoldawiltabes Semarang, Lilik Poerwanto. Ia telah menjadi korban dari penyalahgunaan teknologi (baca: senjata).

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana meminimalkan dampak negatif dari teknologi sendiri? Menjawab pertanyaan ini kata yang paling tepat adalah bangkitnya tanggung jawab moral dalam pengunaan teknologi. Ranah kebangkitan tanggung jawab moral ini dimungkinkan oleh tiga hal.
Pertama, kesadaran yang terus-menerus akan sifat dan ciri teknologi itu sendiri. Teknologi hanyalah alat, bukan menjadi tuan bagi manusia. Sebagai alat ia memiliki keterbatasan. Justru karena keterbatasan itulah kepedulian terhadapnya sangat diperlukan. Kesadaran yang besar di kalangan orang-orang yang dekat dan bersentuhan dengan penggunaan teknologi akan mampu mengurangi dampak destruktif dari teknologi bagi keselamatan manusia yang menggunakannya.

Menurut hemat penulis, tuntutan itu terutama sangat diharapkan terealisasi dalam penggunaan sarana- sarana transportasi, karena bidang ini sangat terkait dengan kepentingan publik. Sebagai instrumen kepentingan publik, ia bersentuhan dengan jumlah manusia yang tidak sedikit. Nyawa manusia pengguna transportasi hanya bisa dijamin kalau pihak-pihak yang terkait langsung dengan teknologi entah sebagai penyedia jasa atau teknisi menyadari keterbatasan teknologi itu sendiri.

Kedua, terkait dengan butir di atas, tanggung jawab moral juga terungkap dalam hal maksimalisasi hasil pekerjaan. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mampu bekerja secara maksimal dan konsisten dengan aturan yang sudah ditetapkan. Dalam penggunaan teknologi, hal ini juga berlaku. Apalagi dalam penggunaan teknologi, aturan sangatlah penting. Pelanggaran terhadap peraturan justru akan menempatkan teknologi sebagai sarana pembunuh bagi manusia. Ini harus dihindari.

Ketiga, dampak dalam penggunaan teknologi. Tanggung jawab moral dalam penggunaan teknologi tidak saja pada perawatan terus-menerus dan maksimalisasi kegunaannya, tetapi juga pada dampak negatif yang diakibatkan dalam penggunaannya. Itu berarti ketika teknologi menyebabkan kecelakaan bagi penggunanya, maka di situ dituntut tanggung jawab, yakni keberanian untuk menanggung seluruh akibat negatif yang ditimbulkan terhadap korban.

Sikap saling menyalahkan atau mengeluarkan pernyataan apologetik dalam menyikapi kejadian adalah cermin dari sikap orang yang tidak bertanggung jawab. Tiga hal di atas sangat diperlukan untuk meminimalkan angka kecelakaan alat transportasi yang semakin marak belakangan ini.

0 komentar: