NO WASTING TIME!

Minggu, 13 September 2009

Antisipasi Kecurangan dalam Ujian Nasional

Wednesday, April 22, 2009

As published on MERDEKA 22/04/2009


Oleh Sutrisno


Ujian Nasional (UN) SMA digelar selama lima hari pada 20-24 April 2009. Sementara UN SMK/SMALB akan berlangsung selama tiga hari pada 20-22 April 2009. Sedangkan UN SMP/MTs/SMPLB akan dilaksanakan pada 27-30 April 2009. Adapun Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) SD/MI/SDLB akan dilaksanakan pada 11-13 Mei 2009.

Menurut Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo, Sebanyak 10.297.816 siswa akan mengikuti UASBN dan UN 2008/2009. Jumlah peserta UASBN SD/MI/SDLB sebanyak 4.514.024 siswa. Sedangkan peserta UN SMP/MTs/SMPLB sebanyak 3.575.987 siswa. Adapun peserta UN SMA/MA/SMK sebanyak 2.207.805 siswa. Kelulusan ditargetkan mencapai 92 persen.

Diakui atau tidak, ketegangan memang membayangi anak-anak kita yang akan menempuh pendadaran terakhir dari proses pembelajaran yang telah mereka lakoni. Jika tahun lalu sisiwa dinyatakan lulus dengan target minimal memiliki nilai rata-rata 5,25 dan boleh memiliki nilai 4,25 pada satu mata pelajaran, sedangkan pada tahun pelajaran 2008/2009 dinaikkan minimal memiliki nilai rata-rata 5,50 dan boleh memiliki nilai 4,25 dua mata pelajaran masih bisa lulus.

Selain angka kelulusan UN yang lebih tinggi, ujian kali ini juga akan berlangsung lebih ketat. Pemerintah, dalam hal ini BSNP, memperketat distribusi soal ujian, meningkatkan jumlah pengawas, sterilisasi ruang ujian dan peningkatan pengawasan oleh pihak terkait. Tindakan serupa di atas bertujuan mencegah upaya ilegal baik dari murid yang bersangkutan, manajemen sekolah maupun pihak-pihak lain. Tahun lalu, misalnya, kepala sekolah terbukti melakukan tindakan tak terpuji karena terdorong hasrat mencetak prestasi.

Kita menyambut baik setiap upaya pemerintah meningkatkan prestasi anak didik, dengan pengertian meningkatkan angka kelulusan harus disertai kebijaksanaan lain guna mewujudkan anak didik yang tinggi intelektualitas dan moralitasnya. Bukan hanya intelektualitas yang dikejar sebab hal tersebut berisiko tinggi.

Kalau kita amati penyebab terjadinya kecurangan pada setiap pelaksanaan UN adalah kompleks dan sebenarnya satu sama lain saling terkait (baca: sistematis). Gambaran terjadinya kecurangan yang tersistematis seperti, seorang kepala daerah tentu tidak mengharapkan sekolah didaerahnya memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Lantas kepala daerah melakukan penekanan terhadap Kepala Dinas Pendidikan. Sedangkan kepala dinas melanjutkan pesan kepala daerah pada kepala sekolah dan kepala sekolah akhirnya menekan para guru.

Kecurangan UN juga bisa dilakukan oleh panitia sekolah, guru, kepala sekolah atau tim sukses UN pasti ada sesuatu yang mendorongnya. Kecurangan dalam pelaksanaan UN pada umumnya dilakukan oleh sekolah-sekolah yang merasa tidak siap menghadapi UN. Ketidaksiapan ini banyak faktor penyebabnya, seperti input peserta didik sebagian besar memiliki kompetensi akademik yang rendah, tenaga pendidik kurang atau cukup tetapi tidak memenuhi kualifikasi yang dipersayaratkan, fasilitas sekolah yang minim, dan lain sebagainya.

Sedangkan kecurangan UN lainnya, seperti: penyebaran kunci jawaban melalui handphone (HP), pengaturan tempat duduk peserta UN sedemikian rupa sehingga letak anak pandai tersebar di setiap ruang dan memungkinkan dapat membantu temannya yang kurang pandai dan kelonggaran pengawasan.

Ada lagi soal kebocoran soal UN. Ini persoalan klasik, hampir tidak mungkin kalau soal UN 100 persen tidak bocor! Celah kebocoran masih banyak, mental para penjaga soal pun tidak sedikit yang bobrok. Sebenarnya kalaupun tidak mau dikatakan salah sama sekali, bahwa UN bisa berjalan mulus, tapi vonis akan ketidak lulusan itu sangat berat dirasakan yang berakibat pada tindak kecurangan disana-sini. Kecurangan yang dilakukan para siswa dan beban pihak sekolah. Semua itu karena hanya berharap untuk lulus maka berbagai tindak kecurangan berjenjang dilakukan mulai oleh siswa, pihak sekolah dan kejenjang yang lebih tinggi. Apalagi kalau tidak untuk menyelematkan jabatan/posisi dan juga ABS (Asal Bapak Senang).

Apabila kecurangan UN dibiasakan dan berkelanjutan tiap tahun, maka tidak mustahil nantinya menjadi suatu budaya dan bisa mewarnai karakter generasi penerus bangsa ini. Keadaan semacam ini akan sangat membahayakan dan dapat menghambat upaya kita dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.

Untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan diperlukan berbagai upaya. Pertama, membangun kepercayaan diri para siswa dengan cara para guru menyiapkan mereka menghadapi UN sebaik-baiknya. Persiapan tersebut meliputi pembelajaran berbasis kompetensi lulusan dan pelatihan intesif dalam mengerjakan soal model UN. Upaya ini perlu didukung oleh orang tua siswa dan Komite Sekolah sesuai dengan fungsinya.

Kedua, untuk menutup atau meminimalkan kesempatan melakukan kecurangan dalam UN perlu di patuhi rambu penyelenggaraan UN yang telah ditetapkan. Pengaturan tempat duduk jarak antarpeserta minimal 1 m. (2) Pengawas ruang tidak membawa alat komunikasi elektronik, membagikan naskah soal secara selang seling, sehingga peserta UN pada meja dengan nomor ganjil memperoleh soal yang berbeda dengan peserta pada meja nomor genap. (3) Peserta ujian nasional dilarang membawa alat komunikasi elektronik, kalkulator, tas, buku, dan catatan dalam bentuk apa pun ke dalam ruang UN serta selama UN berlangsung. Peserta dilarang: menanyakan jawaban soal kepada siapa pun, bekerja sama dengan peserta lain, memberi atau menerima bantuan dalarn menjawab soal, memperlihatkan pekerjaan sendiri kepada peserta lain atau melihat pekerjaan peserta lain (L Sunoto, 2007).

Ketiga, pendistribusian paket tes oleh pengawas ruang kepada peserta ujian di setiap ruang ujian dilakukan secara random/acak. Cara ini dimaksudkan untuk memperkecil peluang pihak sekolah dapat memberikan jawaban soal kepada peserta ujian yang sesuai dengan paket tes yang diresponsnya. Dengan cara demikian, diharapkan peserta ujian akan bekerja mendiri tanpa menunggu bantuan jawaban dari gurunya. Jika cara ini bisa dilaksanakan, penulis berkeyakinan nilai UN akan memiliki tingkat kesahihan yang tinggi, artinya nilai UN benar-benar mencerminkan kemampuan akademik riil dari siswa yang bersangkutan. Namun demikian, kita harus siap dengan risiko yang akan terjadi, yaitu ketidaklulusan peserta ujian dengan persentase yang tinggi (Slamet Widodo, 2007).

Keempat, optimalisasi pengawasan yang dilakukan oleh petugas tim pengawas independen (TPI). TPI diharapkan bekerja secara profesional dan tidak sekedar formalitas menyaksikan pelaksanaan ujian. TPI harus menjaga idealisme, moralitas, kredibilitas, integritas, dan tanggung jawab dalam tugasnya.

Kelima, sanksi yang tegas kepada siswa, sekolah dan siapa saja yang telah terlibat membantu atau melakukan kecurangan UN. Tidak hanya sebatas teguran atau peringatan tetapi sanksi yang mampu membuat jera. Karena salah satu persoalan kronis di negara kita adalah hukum belum mampu mewujdkan ketertiban yang disebabkan sanksi yang tidak tegas.

0 komentar: